Rabu, 20 Agustus 2014

SEKOLAH ADALAH SISTEM SOSIAL







PERANAN SEKOLAH SEBAGAI SISTEM SOSIAL
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi  mata kuliah pendidikan multikultural
Dosen Pengampu : Drs. H.A. ZAENAL ABIDIN, M.Pd

Disusun Oleh:
1.      Ika Pratyarini                   1401410048 / 03
2.      Muin Arifah                      1401410203 / 13

ROMBEL 07


PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bennett (1990) menyatakan bahwa Pendidikan Multikultural berkaitan dengan komitmen untuk menggapai kualitas pendidikan, mengembangkan kurikulum yang membangun pemahaman tentang kelompok etnis dan memerangi praktek penindasan. Agar kualitas pendidikan itu bisa ditingkatkan perlu dikembangkan kurikulum (baru) yang membangun pemahaman tentang kelompok etnis dan memerangi segala praktek penindasan.          
Pemberlakuan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah  tidak otomatis memberlakukan pendekatan multikultural dalam pengembangan pembelajaran di Indonesia. Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang menggunakan pendekatan multikultural haruslah dikembangkan dengan kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang pendekatan multikultural.
Masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar.
Keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses maupun kirikulum sebagai hasil. Oleh karena itu, keragaman tersebut harus menjadi faktor yang diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan  dokumen, sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah peranan sekolah dasar sebagai system social?
2.      Bagaimanakah peranan multikulturan sebagai landasan pendidikan?
3.      Apakah perencanaan pembelajaran pendidikan multicultural itu?
4.      Bagaimanakah pengembangan pendekatan multikultural sebagai ide? 
5.      Bagaimanakah langkah-langkah pembelajaran berbasis budaya menuju transformasi kurikulum multikultural  di sekolah dasar?
6.      Bagaimanakah strategi pembelajaran dan metode untuk humanisasi pendidikan multikultural? 


PEMBAHASAN

A.    Peranan Sekolah Dasar Sebagai Sistem Sosial
Sistem sosial adalah proses bertingkah laku (dalam masyarakat) yang saling memengaruhi dan terdapat kegiatan berulang tetap secara teratur. Faktor penting yang memiliki kekuatan mengintegrasikan system sosial adalah consensus antaranggota masyarakat tentang nilai-nilai tertentu. Reaksi dari suatu system social terhadap perubahan-perubahan yangdatang dari luar (extra system echange) tidak selalu bersifat adjustive. Sebuah system social dalam kurunwaktu tertentu dapat juga mengalami konflik-konflik social yang bersifat visious circle.
Sekolah sebagai system social pada hakikatnya merupakan susunan dari peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal structural yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan tertentu. Tentu saja sistem social tersebut bermuara pada status sekolah sebagai lembaga formal. Sosialisasi dan enkulturasi melalui pendidikan dengan belajar adat (kebiasaan sosial).
Lingkungan sekolah merupakan suatu sistem yang terdiri dari sejumlah variabel dan faktor utama yang dapat diidentifikasi sebagai budaya sekolah, kebijakan dan politik sekolah, kurikulum formal, dan bidang studi. Variabel dan faktor sekolah sebagai sistem sosial itu antara lain :
1.      Kebijakan dan politik sekolah      
Kebijakan dan politik sekolah sangat menentukan ke arah mana anak didik akan dikembangkan potensinya. Kebijakan dan politik sekolah yang bernuansa khas dan unggul dapat dikembangkan oleh sekolah itu secara terencana dan berkelanjutan.  
2.      Budaya sekolah dan kurikulum yang tersembunyi (hidden curriculum)      
Budaya yang berlangsung di sekolah dan kurikulum yang tersembunyi sangat menentukan kepribadian yang dikembangkan pada lingkungan sekolah. Misalnya di Sekolah Dasar tertentu dibudayakan untuk setiap hari guru atau kepala sekolah menyambut kedatangan siswa di depan pagar secara bergiliran untuk bersalaman untuk mengajarkan nilai keakraban, kekeluargaan, rasa saling hormat dan kasih sayang.   
3.      Gaya belajar dan sekolah      
Gaya belajar siswa hendaknya diperhitungkan oleh sekolah dalam pembuatan kebijakan dan dalam menciptakan gaya (style) sekolah itu dalam menciptkan kondisi belajar yang nyaman dan akrab dengan kondisi siswa. Tentu tidak sama gaya sekolah perkotaan dengan segala fasilitasnya dengan gaya sekolah pedesaan. 
4.      Bahasa dan dialek sekolah      
Bahasa dan dialek sekolah di sini berkaitan dengan bahasa dan dialek yang digunakan di sekolah di mana sekolah itu berada. SD di Jawa, khususnya Jawa Tengah atau sebagian Jawa Timur yang banyak menggunakan bahasa dan dialek Jawa dapat membuat program mingguan misalnya. Kegiatan ini untuk menumbuh sikap hormat dan kesantunan pada anak didik lewat penggunaan bahasa dan dialek yang dibudayakan di sekolah. 
5.      Partisipasi dan input masyarakat      
Bila kesadaran masyarakat akan pendidikan tinggi dan komite sekolah dipimpin oleh orang yang memiliki wawasan pendidikan yang baik maka sekolah itu akan banyak mendapat bantuan dari masyarakat, baik dana maupun pemantauan ke arah pengembangan sekolah ke depan. Untuk itu Komite Sekolah perlu dipimpin oleh orang yang bukan saja dikenal, disegani dan berpengaruh di masyarakat, tetapi juga orang yang memiliki komitemen yang tinggi terhadap kemajuan pendidikan putra-putrinya.  
6.      Program penyuluhan/konseling      
Program bimbingan dan penyuluhan/konseling akan berperanan dalam membantu mengatasi kesulitan belajar pada anak, baik itu anak yang mengalami kelambatan belajar maupun anak yang memiliki bakat khusus. Kemungkinan ada anak yang lemah dalam mata pelajaran tertentu ternyata dia memiliki bakat yang besar dalam menari dan menyanyi yang membutuhkan penyaluran bakat yang memadai.  
7.      Prosedur asesmen dan pengujian      
Asesmen dan pengujian tidak identik dengan duduk di kelas dan mengerjakan soal dalam bentuk paper-pencil test. Asesmen bersifat holistik yang menggambarkan kemampuan aktual keseharian anak. Anak akan dinilai secara beda dalam arti dikurangi skornya bila dia terlibat dalam tindakan yang kurang bermoral atau sebaliknya, siswa yang menunjukkan penampilan dan sikap yang baik akan mendapat skor tambahan.  
8.      Materi pembelajaran      
Materi pelajaran pada semua bidang studi atau bidang yang paling cocok dapat memasukkan materi budaya itu dalam pembelajaran. Perlu ada bidang studi Pendidikan Multikultural tersendiri di sekolah dasar untuk lebih mengenalkan budaya secara lebih terencana, terorganisir dan matang, bukan sekedar dititipkan pada materi yang ada pada bidang studi yang lain.
9.      Gaya dan strategi mengajar      
Tentunya guru yang sedang mengajar anak didiknya tentunya sarat dengan nilai budaya. Dia memiliki ideologi dan nilai-nilai budaya yang diperoleh sepanjang hidupnya. Hal itu tentunya sangat mewarnai gaya dan strategi mengajar yang dia gunakan di sekolah.  
10.  Sikap, persepsi, kepercayaan dan perilaku staf sekolah      
Seluruh staf yang mendukung pembelajaran akan sangat membantu menciptakan kondisi pembelajaran yang diinginkan dan begitu juga sebaliknya. Staf sekolah bukan sekedar berurusan dengan benda mati seperti kertas, penggaris, alat tulis atau tanaman yang ada di sekolah, namun bergaul dengan seluruh komponen sekolah. Sikap sinis dan tidak peduli dari staf sekolah akan sangat mempengaruhi kinerja sekolah. Untuk itu perlulah memilih orang yang benar-benar cocok untuk profesi itu.
B.     Multikultural Sebagai Landasan Pembelajaran
Kedudukan kebudayaan dalam suatu proses pembelajaran sangat penting tetapi dalam realita proses pengembangan sering hanya ditentukan oleh pandangan pengembang tentang perkembangan ilmu dan teknologi. Secara intrinsik  filosofi, visi, dan tujuan pendidikan para  pengembang pembelajaran sangat dipengaruhi oleh akar budaya pengembang yang melandasi pandangan hidupnya. Longsreet dan Shane (1993:162) menyatakan bahwa kita umumnya tidak menyadari berbagai kualitas yang dibentuk oleh budaya yang menjadi ciri perilaku kita.     
Landasan lain yang diperlukan dalam pengembangan pembelajaran adalah  teori belajar. Dalam buku yang berjudul sociocultural origins of achievement, Maehr (1974) mengatakan bahwa keterkaitan antara kebudayaan dan bahasa, persepsi, kognisi, keinginan berprestasi, motivasi berprestasi merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap belajar siswa.     
Webb (1990) dan Burnett (1994) menunjukkan pentingnya pertimbangan budaya dalam meningkatkan proses belajar siswa. Delpit (Darling-Hammond, 1996:12) mengatakan bahwa kita semua menginterpretasikan perilaku, informasi, dan situasi melalui lensa budaya kita sendiri, yang tersirat di dalam cara pandang kita. Hal senada dikemukakan pula oleh Wloodkowski dan Ginsberg (1995) yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah dasar dari motivasi intrinsik dan mengembangkan model belajar yang komprehensif dalam arti pengajaran yang responsif terhadap kultural. Model ini merupakan pedagogi lintas disiplin dan lintas budaya.
Pemberlakuan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah  tidak otomatis memberlakukan pendekatan multikultural dalam pengembangan pembelajaran di Indonesia. Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang menggunakan pendekatan multikultural haruslah dikembangkan dengan kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang pendekatan multikultural. Andersen dan Cusher (1994:320) mengatakan bahwa multikultural adalah pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Posisi  kebudayaan menjadi sesuatu yang dipelajari; jadi berstatus sebagai obyek studi. Dengan perkataan lain, keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran yang harus diperhatikan para  pengembang pembelajaran.
C.    Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Multikultural
Untuk konteks otonomi, pengembangan ide dan pelaksanaan pembelajaran dari pusat lebih banyak berisikan prinsip dan petunjuk teknis sedangkan kewenangan dalam pengembangan yang lebih operasional dan rinci diberikan kepada daerah. Pada konteks sentralisasi, pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran sebagai ide dan pelaksanaan pembelajaran memang tetap ada pada pusat tetapi harus tetap memberikan ruang yang besar bagi daerah untuk memasukkan karakteristik budayanya.
Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan sebagai proses terjadi pada unit pendidikan dalam hal ini adalah sekolah. Pengembangan ini haruslah didahului oleh sosialisasi agar para pengembang (guru) dapat mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, proses belajar di kelas, dan evaluasi sesuai dengan prinsip pendekatan multikultural. Diperlukan adanya tim sosialisasi yang sepenuhnya faham dengan karakteristik perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran multikultural. Pada tahap ini, target utama adalah para guru faham dan berkeinginan untuk mengembangkan RPP multikultural dalam kegiatan belajar yang menjadi tanggung jawabnya. 
D.    Pengembangan Pendekatan Multikultural Sebagai Ide 
Pendekatan multikultural bukan saja mampu menjadi media pengembangan budaya lokal tetapi juga merupakan media pengembang budaya nasional, maupun budaya universal. Kebudayaan lokal menjadi dasar dalam mengembangkan kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional itu menjadi landasan dalam memahami budaya universal. Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan dalam dimensi ide harus jelas mengungkapkan hal ini dan kemudian harus tercermin dalam pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. 
1.      Pengembangan Pendekatan Multikultural Sebagai Gerakan
Pengembangan pendekatan multikultural sebagai gerakan menyangkut pengembangan pembelajaran berbasis budaya. Seluruh komponen sekolah harus berlandaskan budaya. Pembelajaran seperti tujuan, konten, pengalaman belajar, dan evaluasi dilakukan dengan berbasiskan budaya. Para pengembang harus dapat membuka diri untuk menyadari bahwa tidak semua kualitas manusia dapat diukur berdasarkan kriteria tertentu. Ada tujuan- tujuan yang dapat diukur dan dikuasai dalam satu atau dua pengalaman belajar, tetapi ada juga tujuan yang baru tercapai dalam waktu belajar yang panjang.
Masyarakat sebagai sumber belajar harus dapat dimanfaatkan sebagai sumber konten perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Oleh karena itu, nilai, moral, kebiasaan,  adat/tradisi, dan cultural traits tertentu harus dapat diakomodasi  sebagai konten perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Konten pembelajaran haruslah tidak bersifat formal semata tetapi society and cultural-based, dan terbuka pada masalah yang hidup dalam masyarakat. Konten pembelajaran haruslah menyebabkan siswa merasa bahwa sekolah bukanlah institusi yang lepas dengan masyarakat, tetapi sekolah adalah suatu lembaga sosial dan lembaga budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat.
2.      Pengembangan Perencanaan dan pelaksanaan Pembelajaran Sebagai Proses
Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran sebagai proses sangat ditentukan oleh guru berdasarkan kondisi budaya siswa. Pendidikan Multikultural sebagai proses harus sesuai Pendidikan Multikultural dengan sebagai ide. Pengetahuan, pemahaman, dan sikap, serta kemauan guru terhadap Pendidikan Multikultural akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan sebagai proses.
Ada empat hal yang harus diperhatikan guru dalam mengembangkan  Pendidikan Multikultural sebagai proses, yaitu:
a.       Posisi siswa sebagai subjek dalam belajar,
b.      Cara belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang  budayanya,
c.       Lingkungan budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behavior kultural,
d.      Lingkungan budaya siswa sebagai sumber belajar.
E.     Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Budaya Menuju Transformasi Kurikulum
Multikultural  di Sekolah Dasar
Tahap transformasi kurikulum berikut diadaptasi dari beberapa model yang ada, termasuk oleh Banks (1993) dan McIntosh (2000), dan Paul C. Gorski. 
Tahap 1. Status Quo atau Kurikulum Dominan (curriculum of the mainstream)
Sleeter dan Grant (1999: 37) melihat tahap ini bertujuan mengasimilasi siswa yang terabaikan. Kurikulum dan pembelajaran berfokus pada "strategi mengajar yang memperbaiki kekurangan atau membangun jembatan antara siswa dan sekolah ". Menurut Gorski, kelompok status quo di Amerika adalah kulit putih, pria, kelas menengah atas, dan Kristen Protestan. Tahap ini berbahaya baik bagi siswa yang mengidentifikasi dengan budaya dominan maupun individu dari kelompok non dominan.
Tahap 2. Hari Libur dan Pahlawan (Makanan, Festival, & Kesenangan)
Pada tahap ini ada kegiatan "merayakan" perbedaan dengan menyatukan informasi atau sumber tentang pagelaran tentang “aneka budaya” yang berfokus pada kostum, makanan, musik, dan item budaya yang dapat diraba lainnya (other tangible cultural items). Kekuatan dari tahap ini adalah bahwa pengajar mencoba mendiversifikasi kurikulum dengan memberi materi dan pengetahuan di luar budaya dominan.
Kalau di Amerika pada tahap ini, Pendidikan Multikultural dipraktekkan sebagai pekan raya makanan internasional (an international food fair) atau peringatan representatif tertentu dari suatu kelompok. Bentuknya bisa berupa kegiatan festival yang bernuansakan kesenangan. Kalau di AS siswa memakai hiasan kepala atau tomahawks untuk mempelajari budaya Amerika Asli (Native American culture), kalau di Indonesia siswa memakai kostum suku Dayak, Papua atau Jawa. Guru ikut terlibat di dalam bazar tersebut. Di dalam festival itu ditayangkan poster wanita terkenal atau gambar orang dari kelompok multikultural. 
Tahap 3. Integrasi
Pada tahap Integrasi, guru melampaui kepahlawanan dan hari libur dengan menambahkan materi dan pengetahuan substansial tentang kelompok bukan dominan ke dalam kurikulum. Pengajar dapat menambahkan pada koleksi buku yang ditulis oleh penulis dari kelompok lain. Ia dapat menambahkan suatu unit yang mencakup, misalnya, peranan wanita pada Perang Dunia I. Guru musik dapat menambahkan tarian Cakalele dari Maluku Utara. Pada level sekolah, sejarah kota tertentu dapat ditambahkan pada keseluruhan kurikulum. Kekuatan tahap integrasi adalah melampaui peringatan khusus dengan memberi isu dan konsep nyata dan yang lebih meletakkan materi baru ke dalam kurikulum.
Tahap 4. Belajar dan Mengajar Antarbudaya (Kamus Budaya) 
Guru mempelajari tradisi dan perilaku budaya asal siswanya dalam upaya untuk lebih memahami bagaimana guru itu harus memperlakukan siswa itu. Di Barat, khususnya Amerika Serikat, guru memiliki buku pegangan yang mendeskripsikan bagaimana mereka seharusnya berhubungan dengan siswa Afrika- Amerika, siswa Latin, siswa Asia Amerika, siswa Amerika Asli, dan kelompok lain berdasarkan interpretasi terhadap tradisi dan gaya komunikasi dari kelompok tertentu itu. Di Indonesia, khususnya di Jawa guru perlu lebih mengenal budaya Jawa secara utuh budaya Jawa walaupun dia berasal dari luar Jawa.
Tahap 5. Reformasi Struktural 
Materi, perspektif, dan suara baru diserukan dengan kerangka kerja pengetahuan yang mutakhir untuk memberi tahap pemahaman baru dari kurikulum yang lebih lengkap dan akurat. Guru mendedikasikan dirinya untuk memperluas dasar pengetahuannya secara berkelanjutan melalui eksplorasi berbagai perspektif, dan berbagi pengetahuan dengan siswanya. Misalnya, "Sejarah Amerika" mencakup sejarah orang Afrika-Amerika, Sejarah Wanita, Sejarah orang Asia Amerika, Sejarah orang Amerika Latin, dan semua bidang pengetahuan yang berbeda.
Tahap 6. Hubungan Manusia (Mengapa kita tidak semuanya ikut serta) 
Anggota masyarakat sekolah didorong untuk memperingati perbedaan dengan membuat hubungan lintas identitas kelompok yang berbeda. Guru menggambarkan pengalaman pribadi siswa sehingga siswa dapat belajar dari masing-masing yang lain. Melalui hubungan antar pribadi, itu siswa dapat mengenal budaya siswa yang lain. Perbedaan pengalaman dan budaya siswa yang berbeda- beda itu dilihat sebagai aset yang memperkaya pengalaman kelas.   
Tahap 7. Pendidikan Multikultural Selektif (Pendidikan Multikultural secara temporer) 
Guru dan staf memulai program temporer dan satu waktu tertentu dengan mengenal adanya keketidak samaan dalam berbagai aspek pendidikan. Mereka dipanggil bersama-sama dalam suatu pertemuan untuk mendiskusikan konflik rasial atau mendatangkan seorang konsultan untuk membantu guru merancang perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang ditujukan untuk berbagai kelompok yang berbeda. Mereka mungkin menciptakan suatu program untuk melibatkan siswa wanita dalam mencapai prestasi matematik dan sains secara optimal.
Tahap 8. Pendidikan Multikultural Transformatif (Pendidikan persamaan dan Keadilan  Sosial) 
Semua praktek pendidikan dimulai dengan penentuan yang sama pada semua aspek sekolah dan persekolahan dan menjamin bahwa semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk menggapai potensi sepenuhnya sebagai pelajar. Semua praktek pendidikan yang menguntungkan suatu kelompok yang merugikan kelompok lain diubah untuk menjamin persamaan.
F.     Strategi Pembelajaran dan Metode untuk Humanisasi Pendidikan Multikultural 
Pilihan strategi yang digunakan dalam mengembangkan pembelajaraan berbasis multikultural, antara lain: strategi kegiatan belajar bersama-sama (Cooperative Learning), yang dipadukan dengan strategi pencapaian konsep (Concept Attainment) dan strategi analisis nilai (Value Analysis); strategi analisis sosial (Social Investigation). Beberapa Pilhan strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran berbasis multikultural.
1.      Strategi Pencapaian Konsep
Digunakan untuk memfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan eksplorasi budaya lokal untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap menarik bagi dirinya dari budaya daerah masing-masing, dan selanjutnya menggali nilai-nilai yang terkandung dalam budaya daerah asal tersebut.
2.      Strategi cooperative learning
Digunakan untuk menandai adanya perkembangan kemampuan siswa dalam belajar bersama-sama mensosialisasikan konsep dan nilai budaya lokal dari daerahnya dalam komunitas belajar bersama teman. Dalam tataran belajar dengan pendekatan multikultural, penggunaan strategi cooperative learning, diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi siswa dalam melakukan rekomendasi nilai-nilai lokal serta membangun cara pandang kebangsaan, meningkatkan kualitas dan efektivitas proses belajar siswa, suasana belajar yang kondusif dalam pembelajaran.
3.      Strategi analisis sosial
Difokuskan untuk melatih kemampuan siswa berpikir secara induktif, dari setting ekspresi dan komitmen nilai-nilai budaya lokal (cara pandang lokal) menuju kerangka dan bangunan tata pikir atau cara pandang yang lebih luas dalam lingkup nasional (melalui cara pandang kebangsaan).
4.      Strategi analisis nilai
Dari kemampuan ini, siswa memiliki keterampilan mengembangkan kecakapan hidup dalam menghormati budaya lain, toleransi terhadap perbedaan, akomodatif, terbuka dan jujur dalam berinteraksi dengan teman (orang lain) yang berbeda suku, agama etnis dan budayanya, memiliki empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya lain, dan mampu mengelola konflik dengan tanpa kekerasan (conflict non violent).
Bertolak dari keempat strategi pembelajaran di atas, pola pembelajaran berbasis multikultural dilakukan untuk meningkatkan kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai keberbedaan dan keberagaman yang melekat pada kehidupan siswa lokal sebagai faktor yang sangat potensial dalam membangun cara pandang kebangsaan. Dengan kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai lokal, siswa di samping memiliki ketegaran dan ketangguhan secara pribadi, juga mampu melakukan pilihan-pilihan rasional (rational choice) ketika berhadapan dengan isu-isu lokal, nasional dan global. Siswa mampu menatap perspektif global sebagai suatu realitas yang tidak selalu dimaknai secara emosional, akan tetapi juga rasional serta tetap sadar akan jati diri bangsa dan negaranya. Kemampuan akademik tersebut, salah satu indikasinya ditampakkan oleh siswa dalam perolehan hasil pembelajaran yang dialami.
Kriteria yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan kegiatan belajar siswa adalah laporan kerja (makalah), unjuk kerja dan partisipasi yang ditampilkan oleh siswa dalam pembelajaran dengan cara diskusi dan curah pendapat, yang meliputi rasional berpendapat, toleransi dan empati terhadap menatap nilai-nilai budaya daerah asal teman, serta perkembangan prestasi belajar siswa setelah mengikuti tes di akhir pembelajaran. Selain itu, kriteria lain yang dapat digunakan adalah unjuk kerja yang ditampilkan oleh guru di dalam melaksanakan pendekatan multikultural dalam pembelajarannya.
Guru yang bersangkutan selalu terlibat dalam setiap fase kegiatan pembelajaran, baik dalam kegiatan diskusi dan refleksi hasil temuan awal, penyusunan rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dalam pelaksaan tindakan, diskusi dan refleksi hasil pelaksanaan tindakan, dan penentuan/penyususunan rencana tindakan selanjutnya dalam pencapain tujuan pembelajaran.


PENUTUP

A.    Simpulan
Sekolah sebagai system social pada hakikatnya merupakan susunan dari peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal structural yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan tertentu. Secara intrinsik  filosofi, visi, dan tujuan pendidikan para  pengembang pembelajaran sangat dipengaruhi oleh akar budaya pengembang yang melandasi pandangan hidupnya.
Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran multikultural haruslah didahului oleh sosialisasi agar para pengembang (guru) dapat mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, proses belajar di kelas, dan evaluasi sesuai dengan prinsip pendekatan multikultural. Pendekatan multikultural bukan saja mampu menjadi media pengembangan budaya lokal tetapi juga merupakan media pengembang budaya nasional, maupun budaya universal.
Langkah-langkah pembelajaran berbasis budaya menuju transformasi kurikulum multikultural  di sekolah dasar yaitu status quo atau kurikulum dominan, hari libur dan pahlawan (makanan, festival, & kesenangan), integrasi, belajar dan mengajar antarbudaya, reformasi structural, hubungan manusia, pendidikan multikultural selektif (, pendidikan multikultural transformatif (pendidikan persamaan dan keadilan  sosial). 
Beberapa Pilhan strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model pembelajaran berbasis multicultural adalah strategi pencapaian konsep, strategi cooperative learning, strategi analisis social, dan strategi analisis nilai.
B.     Saran
Masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar.

Daftar Pustaka
Hasan, Hamid.2001. Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional. Bandung:Universitas Pendidikan Indonesia.
Near Pujangga. 2011.Pembelajaran Berbasis Multikultural. file:///D:/Yabtu/pembelajaran-berbasis-multikultural.html.  (diakses : 15 Maret 2013.
Sutarno.2010.PJJ S1 PGSD.Jakarta:Dirjen Perguruan Tinggi.
www.uns.ac.id/data/sp7.pdf (akses : 14 Maret 2013)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar