PERANAN SEKOLAH SEBAGAI SISTEM SOSIAL
MAKALAH
Disusun untuk
memenuhi mata kuliah pendidikan
multikultural
Dosen Pengampu : Drs. H.A. ZAENAL ABIDIN, M.Pd
Disusun Oleh:
1.
Ika
Pratyarini 1401410048 /
03
2.
Muin
Arifah 1401410203 / 13
ROMBEL
07
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bennett (1990) menyatakan bahwa Pendidikan
Multikultural berkaitan dengan komitmen untuk menggapai kualitas pendidikan,
mengembangkan kurikulum yang membangun pemahaman tentang kelompok etnis dan
memerangi praktek penindasan. Agar kualitas pendidikan itu bisa ditingkatkan
perlu dikembangkan kurikulum (baru) yang membangun pemahaman tentang kelompok
etnis dan memerangi segala praktek penindasan.
Pemberlakuan
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah tidak otomatis memberlakukan pendekatan
multikultural dalam pengembangan pembelajaran di Indonesia. Perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran yang menggunakan pendekatan multikultural haruslah
dikembangkan dengan kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang pendekatan
multikultural.
Masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman
sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi. Keragaman
tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum,
kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa
dalam berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang
dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar.
Keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang
memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai
proses maupun kirikulum sebagai hasil. Oleh karena itu, keragaman tersebut
harus menjadi faktor yang diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam
penentuan filsafat, teori, visi, pengembangan dokumen, sosialisasi
kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
peranan sekolah dasar sebagai system social?
2. Bagaimanakah
peranan multikulturan sebagai landasan pendidikan?
3. Apakah
perencanaan pembelajaran pendidikan multicultural itu?
4. Bagaimanakah
pengembangan pendekatan multikultural sebagai ide?
5. Bagaimanakah
langkah-langkah pembelajaran berbasis budaya menuju transformasi kurikulum
multikultural di sekolah dasar?
6. Bagaimanakah
strategi pembelajaran dan metode untuk humanisasi pendidikan
multikultural?
PEMBAHASAN
A.
Peranan
Sekolah Dasar Sebagai Sistem Sosial
Sistem sosial adalah proses bertingkah laku (dalam
masyarakat) yang saling memengaruhi dan terdapat kegiatan berulang tetap secara
teratur. Faktor penting yang memiliki kekuatan mengintegrasikan system sosial adalah
consensus antaranggota masyarakat tentang nilai-nilai tertentu. Reaksi dari suatu
system social terhadap perubahan-perubahan yangdatang dari luar (extra system echange) tidak selalu
bersifat adjustive. Sebuah system social dalam kurunwaktu tertentu dapat juga
mengalami konflik-konflik social yang bersifat visious circle.
Sekolah sebagai system social pada hakikatnya merupakan
susunan dari peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing bagian tersebut
terkonsentrasi pada satu kekuatan legal structural yang menggerakkan daya orientasi
demi mencapai tujuan tertentu. Tentu saja sistem social tersebut bermuara pada status
sekolah sebagai lembaga formal. Sosialisasi dan enkulturasi melalui pendidikan
dengan belajar adat (kebiasaan sosial).
Lingkungan sekolah
merupakan suatu sistem yang terdiri dari sejumlah variabel dan faktor utama
yang dapat diidentifikasi sebagai budaya sekolah, kebijakan dan politik
sekolah, kurikulum formal, dan bidang studi. Variabel dan faktor sekolah
sebagai sistem sosial itu antara lain :
1. Kebijakan
dan politik sekolah
Kebijakan
dan politik sekolah sangat menentukan ke arah mana anak didik akan dikembangkan
potensinya. Kebijakan dan politik sekolah yang bernuansa khas dan unggul dapat
dikembangkan oleh sekolah itu secara terencana dan berkelanjutan.
2. Budaya
sekolah dan kurikulum yang tersembunyi (hidden
curriculum)
Budaya
yang berlangsung di sekolah dan kurikulum yang tersembunyi sangat menentukan
kepribadian yang dikembangkan pada lingkungan sekolah. Misalnya di Sekolah
Dasar tertentu dibudayakan untuk setiap hari guru atau kepala sekolah menyambut
kedatangan siswa di depan pagar secara bergiliran untuk bersalaman untuk
mengajarkan nilai keakraban, kekeluargaan, rasa saling hormat dan kasih sayang.
3. Gaya
belajar dan sekolah
Gaya
belajar siswa hendaknya diperhitungkan oleh sekolah dalam pembuatan kebijakan
dan dalam menciptakan gaya (style)
sekolah itu dalam menciptkan kondisi belajar yang nyaman dan akrab dengan
kondisi siswa. Tentu tidak sama gaya sekolah perkotaan dengan segala
fasilitasnya dengan gaya sekolah pedesaan.
4. Bahasa
dan dialek sekolah
Bahasa
dan dialek sekolah di sini berkaitan dengan bahasa dan dialek yang digunakan di
sekolah di mana sekolah itu berada. SD di Jawa, khususnya Jawa Tengah atau
sebagian Jawa Timur yang banyak menggunakan bahasa dan dialek Jawa dapat
membuat program mingguan misalnya. Kegiatan ini untuk menumbuh sikap hormat dan
kesantunan pada anak didik lewat penggunaan bahasa dan dialek yang dibudayakan
di sekolah.
5. Partisipasi
dan input masyarakat
Bila
kesadaran masyarakat akan pendidikan tinggi dan komite sekolah dipimpin oleh
orang yang memiliki wawasan pendidikan yang baik maka sekolah itu akan banyak
mendapat bantuan dari masyarakat, baik dana maupun pemantauan ke arah
pengembangan sekolah ke depan. Untuk itu Komite Sekolah perlu dipimpin oleh
orang yang bukan saja dikenal, disegani dan berpengaruh di masyarakat, tetapi
juga orang yang memiliki komitemen yang tinggi terhadap kemajuan pendidikan
putra-putrinya.
6. Program
penyuluhan/konseling
Program
bimbingan dan penyuluhan/konseling akan berperanan dalam membantu mengatasi
kesulitan belajar pada anak, baik itu anak yang mengalami kelambatan belajar
maupun anak yang memiliki bakat khusus. Kemungkinan ada anak yang lemah dalam
mata pelajaran tertentu ternyata dia memiliki bakat yang besar dalam menari dan
menyanyi yang membutuhkan penyaluran bakat yang memadai.
7. Prosedur
asesmen dan pengujian
Asesmen
dan pengujian tidak identik dengan duduk di kelas dan mengerjakan soal dalam
bentuk paper-pencil test. Asesmen bersifat holistik yang menggambarkan
kemampuan aktual keseharian anak. Anak akan dinilai secara beda dalam arti
dikurangi skornya bila dia terlibat dalam tindakan yang kurang bermoral atau
sebaliknya, siswa yang menunjukkan penampilan dan sikap yang baik akan mendapat
skor tambahan.
8. Materi
pembelajaran
Materi
pelajaran pada semua bidang studi atau bidang yang paling cocok dapat
memasukkan materi budaya itu dalam pembelajaran. Perlu ada bidang studi
Pendidikan Multikultural tersendiri di sekolah dasar untuk lebih mengenalkan
budaya secara lebih terencana, terorganisir dan matang, bukan sekedar
dititipkan pada materi yang ada pada bidang studi yang lain.
9. Gaya
dan strategi mengajar
Tentunya
guru yang sedang mengajar anak didiknya tentunya sarat dengan nilai budaya. Dia
memiliki ideologi dan nilai-nilai budaya yang diperoleh sepanjang hidupnya. Hal
itu tentunya sangat mewarnai gaya dan strategi mengajar yang dia gunakan di sekolah.
10. Sikap,
persepsi, kepercayaan dan perilaku staf sekolah
Seluruh staf
yang mendukung pembelajaran akan sangat membantu menciptakan kondisi
pembelajaran yang diinginkan dan begitu juga sebaliknya. Staf sekolah bukan
sekedar berurusan dengan benda mati seperti kertas, penggaris, alat tulis atau
tanaman yang ada di sekolah, namun bergaul dengan seluruh komponen sekolah.
Sikap sinis dan tidak peduli dari staf sekolah akan sangat mempengaruhi kinerja
sekolah. Untuk itu perlulah memilih orang yang benar-benar cocok untuk profesi
itu.
B.
Multikultural
Sebagai Landasan Pembelajaran
Kedudukan kebudayaan dalam suatu proses pembelajaran
sangat penting tetapi dalam realita proses
pengembangan sering hanya ditentukan oleh pandangan pengembang tentang
perkembangan ilmu dan teknologi. Secara intrinsik filosofi, visi, dan tujuan pendidikan para pengembang pembelajaran sangat dipengaruhi
oleh akar budaya pengembang yang melandasi pandangan hidupnya. Longsreet dan
Shane (1993:162) menyatakan bahwa kita umumnya tidak menyadari berbagai
kualitas yang dibentuk oleh budaya yang menjadi ciri perilaku kita.
Landasan lain yang
diperlukan dalam pengembangan pembelajaran adalah teori belajar. Dalam buku yang berjudul sociocultural origins of achievement,
Maehr (1974) mengatakan bahwa keterkaitan antara kebudayaan dan bahasa,
persepsi, kognisi, keinginan berprestasi, motivasi berprestasi merupakan
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap belajar siswa.
Webb
(1990)
dan Burnett (1994) menunjukkan pentingnya pertimbangan budaya dalam
meningkatkan proses belajar siswa. Delpit (Darling-Hammond, 1996:12) mengatakan
bahwa kita semua menginterpretasikan perilaku, informasi, dan situasi melalui
lensa budaya kita sendiri, yang tersirat di dalam cara pandang kita. Hal senada
dikemukakan pula oleh Wloodkowski dan Ginsberg (1995) yang menyatakan bahwa
kebudayaan adalah dasar dari motivasi intrinsik dan mengembangkan model belajar
yang komprehensif dalam arti pengajaran yang responsif terhadap kultural. Model
ini merupakan pedagogi lintas disiplin dan lintas budaya.
Pemberlakuan
Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah tidak otomatis memberlakukan pendekatan multikultural
dalam pengembangan pembelajaran di Indonesia. Perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran yang menggunakan pendekatan multikultural haruslah dikembangkan
dengan kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang pendekatan multikultural. Andersen
dan Cusher (1994:320) mengatakan bahwa multikultural adalah pendidikan mengenai
keragaman kebudayaan. Posisi kebudayaan
menjadi sesuatu yang dipelajari; jadi berstatus sebagai obyek studi. Dengan
perkataan lain, keragaman kebudayaan menjadi materi pelajaran yang harus
diperhatikan para pengembang
pembelajaran.
C.
Perencanaan
Pembelajaran Pendidikan Multikultural
Untuk
konteks otonomi, pengembangan ide dan pelaksanaan pembelajaran dari pusat lebih
banyak berisikan prinsip dan petunjuk teknis sedangkan kewenangan dalam
pengembangan yang lebih operasional dan rinci diberikan kepada daerah. Pada
konteks sentralisasi, pengembangan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
sebagai ide dan pelaksanaan pembelajaran memang tetap ada pada pusat tetapi
harus tetap memberikan ruang yang besar bagi daerah untuk memasukkan
karakteristik budayanya.
Pengembangan
perencanaan dan pelaksanaan sebagai proses terjadi pada unit pendidikan dalam
hal ini adalah sekolah. Pengembangan ini haruslah didahului oleh sosialisasi
agar para pengembang (guru) dapat mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran, proses belajar di kelas, dan evaluasi sesuai dengan prinsip
pendekatan multikultural. Diperlukan adanya tim sosialisasi yang sepenuhnya
faham dengan karakteristik perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran
multikultural. Pada tahap ini, target utama adalah para guru faham dan
berkeinginan untuk mengembangkan RPP multikultural dalam kegiatan belajar yang
menjadi tanggung jawabnya.
D.
Pengembangan Pendekatan Multikultural Sebagai Ide
Pendekatan
multikultural bukan saja mampu menjadi media pengembangan budaya lokal tetapi
juga merupakan media pengembang budaya nasional, maupun budaya universal.
Kebudayaan lokal menjadi dasar dalam mengembangkan kebudayaan nasional.
Kebudayaan nasional itu menjadi landasan dalam memahami budaya universal.
Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan dalam dimensi ide harus jelas
mengungkapkan hal ini dan kemudian harus tercermin dalam pengembangan
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.
1. Pengembangan
Pendekatan Multikultural Sebagai Gerakan
Pengembangan pendekatan multikultural
sebagai gerakan menyangkut pengembangan pembelajaran berbasis budaya. Seluruh
komponen sekolah harus berlandaskan budaya. Pembelajaran seperti tujuan,
konten, pengalaman belajar, dan evaluasi dilakukan dengan berbasiskan budaya.
Para pengembang harus dapat membuka diri untuk menyadari bahwa tidak semua
kualitas manusia dapat diukur berdasarkan kriteria tertentu. Ada tujuan- tujuan
yang dapat diukur dan dikuasai dalam satu atau dua pengalaman belajar, tetapi
ada juga tujuan yang baru tercapai dalam waktu belajar yang panjang.
Masyarakat sebagai sumber belajar harus
dapat dimanfaatkan sebagai sumber konten perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran. Oleh karena itu, nilai, moral, kebiasaan, adat/tradisi, dan cultural traits tertentu
harus dapat diakomodasi sebagai konten
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Konten pembelajaran haruslah tidak
bersifat formal semata tetapi society and cultural-based, dan terbuka pada
masalah yang hidup dalam masyarakat. Konten pembelajaran haruslah menyebabkan
siswa merasa bahwa sekolah bukanlah institusi yang lepas dengan masyarakat,
tetapi sekolah adalah suatu lembaga sosial dan lembaga budaya yang hidup dan
berkembang di masyarakat.
2. Pengembangan
Perencanaan dan pelaksanaan Pembelajaran Sebagai Proses
Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran sebagai proses sangat ditentukan oleh guru berdasarkan kondisi
budaya siswa. Pendidikan Multikultural sebagai proses harus sesuai Pendidikan
Multikultural dengan sebagai ide. Pengetahuan, pemahaman, dan sikap, serta
kemauan guru terhadap Pendidikan Multikultural akan sangat menentukan
keberhasilan pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan sebagai proses.
Ada empat hal yang harus diperhatikan guru
dalam mengembangkan Pendidikan
Multikultural sebagai proses, yaitu:
a. Posisi
siswa sebagai subjek dalam belajar,
b. Cara
belajar siswa yang ditentukan oleh latar belakang budayanya,
c. Lingkungan
budaya mayoritas masyarakat dan pribadi siswa adalah entry behavior kultural,
d. Lingkungan
budaya siswa sebagai sumber belajar.
E.
Langkah-langkah
Pembelajaran Berbasis Budaya Menuju Transformasi Kurikulum
Multikultural di Sekolah Dasar
Tahap
transformasi kurikulum berikut diadaptasi dari beberapa model yang ada,
termasuk oleh Banks (1993) dan McIntosh (2000), dan Paul C. Gorski.
Tahap 1. Status
Quo atau Kurikulum Dominan (curriculum of the mainstream)
Sleeter
dan Grant (1999: 37) melihat tahap ini bertujuan mengasimilasi siswa yang
terabaikan. Kurikulum dan pembelajaran berfokus pada "strategi mengajar
yang memperbaiki kekurangan atau membangun jembatan antara siswa dan sekolah
". Menurut Gorski, kelompok status quo di Amerika adalah kulit putih,
pria, kelas menengah atas, dan Kristen Protestan. Tahap ini berbahaya baik bagi
siswa yang mengidentifikasi dengan budaya dominan maupun individu dari kelompok
non dominan.
Tahap 2. Hari
Libur dan Pahlawan (Makanan, Festival, & Kesenangan)
Pada
tahap ini ada kegiatan "merayakan" perbedaan dengan menyatukan
informasi atau sumber tentang pagelaran tentang “aneka budaya” yang berfokus
pada kostum, makanan, musik, dan item budaya yang dapat diraba lainnya (other tangible cultural items). Kekuatan
dari tahap ini adalah bahwa pengajar mencoba mendiversifikasi kurikulum dengan
memberi materi dan pengetahuan di luar budaya dominan.
Kalau
di Amerika pada tahap ini, Pendidikan Multikultural dipraktekkan sebagai pekan
raya makanan internasional (an international
food fair) atau peringatan representatif tertentu dari suatu kelompok.
Bentuknya bisa berupa kegiatan festival yang bernuansakan kesenangan. Kalau di
AS siswa memakai hiasan kepala atau tomahawks
untuk mempelajari budaya Amerika Asli (Native
American culture), kalau di Indonesia siswa memakai kostum suku Dayak,
Papua atau Jawa. Guru ikut terlibat di dalam bazar tersebut. Di dalam festival
itu ditayangkan poster wanita terkenal atau gambar orang dari kelompok
multikultural.
Tahap 3.
Integrasi
Pada
tahap Integrasi, guru melampaui kepahlawanan dan hari libur dengan menambahkan
materi dan pengetahuan substansial tentang kelompok bukan dominan ke dalam
kurikulum. Pengajar dapat menambahkan pada koleksi buku yang ditulis oleh
penulis dari kelompok lain. Ia dapat menambahkan suatu unit yang mencakup,
misalnya, peranan wanita pada Perang Dunia I. Guru musik dapat menambahkan tarian
Cakalele dari Maluku Utara. Pada level sekolah, sejarah kota tertentu dapat
ditambahkan pada keseluruhan kurikulum. Kekuatan tahap integrasi adalah
melampaui peringatan khusus dengan memberi isu dan konsep nyata dan yang lebih
meletakkan materi baru ke dalam kurikulum.
Tahap 4. Belajar
dan Mengajar Antarbudaya (Kamus Budaya)
Guru
mempelajari tradisi dan perilaku budaya asal siswanya dalam upaya untuk lebih
memahami bagaimana guru itu harus memperlakukan siswa itu. Di Barat, khususnya
Amerika Serikat, guru memiliki buku pegangan yang mendeskripsikan bagaimana
mereka seharusnya berhubungan dengan siswa Afrika- Amerika, siswa Latin, siswa
Asia Amerika, siswa Amerika Asli, dan kelompok lain berdasarkan interpretasi
terhadap tradisi dan gaya komunikasi dari kelompok tertentu itu. Di Indonesia,
khususnya di Jawa guru perlu lebih mengenal budaya Jawa secara utuh budaya Jawa
walaupun dia berasal dari luar Jawa.
Tahap
5. Reformasi Struktural
Materi,
perspektif, dan suara baru diserukan dengan kerangka kerja pengetahuan yang
mutakhir untuk memberi tahap pemahaman baru dari kurikulum yang lebih lengkap
dan akurat. Guru mendedikasikan dirinya untuk memperluas dasar pengetahuannya
secara berkelanjutan melalui eksplorasi berbagai perspektif, dan berbagi
pengetahuan dengan siswanya. Misalnya, "Sejarah Amerika" mencakup
sejarah orang Afrika-Amerika, Sejarah Wanita, Sejarah orang Asia Amerika,
Sejarah orang Amerika Latin, dan semua bidang pengetahuan yang berbeda.
Tahap
6. Hubungan Manusia (Mengapa kita tidak semuanya ikut serta)
Anggota
masyarakat sekolah didorong untuk memperingati perbedaan dengan membuat
hubungan lintas identitas kelompok yang berbeda. Guru menggambarkan pengalaman
pribadi siswa sehingga siswa dapat belajar dari masing-masing yang lain.
Melalui hubungan antar pribadi, itu siswa dapat mengenal budaya siswa yang
lain. Perbedaan pengalaman dan budaya siswa yang berbeda- beda itu dilihat
sebagai aset yang memperkaya pengalaman kelas.
Tahap
7. Pendidikan Multikultural Selektif
(Pendidikan Multikultural secara temporer)
Guru
dan staf memulai program temporer dan satu waktu tertentu dengan mengenal
adanya keketidak samaan dalam berbagai aspek pendidikan. Mereka dipanggil
bersama-sama dalam suatu pertemuan untuk mendiskusikan konflik rasial atau
mendatangkan seorang konsultan untuk membantu guru merancang perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran yang ditujukan untuk berbagai kelompok yang berbeda.
Mereka mungkin menciptakan suatu program untuk melibatkan siswa wanita dalam
mencapai prestasi matematik dan sains secara optimal.
Tahap
8. Pendidikan Multikultural
Transformatif (Pendidikan persamaan dan Keadilan Sosial)
Semua praktek
pendidikan dimulai dengan penentuan yang sama pada semua aspek sekolah dan
persekolahan dan menjamin bahwa semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk
menggapai potensi sepenuhnya sebagai pelajar. Semua praktek pendidikan yang
menguntungkan suatu kelompok yang merugikan kelompok lain diubah untuk menjamin
persamaan.
F.
Strategi
Pembelajaran dan Metode untuk Humanisasi Pendidikan Multikultural
Pilihan
strategi yang digunakan dalam mengembangkan pembelajaraan berbasis
multikultural, antara lain: strategi kegiatan belajar bersama-sama (Cooperative Learning), yang dipadukan
dengan strategi pencapaian konsep (Concept
Attainment) dan strategi analisis nilai (Value Analysis); strategi analisis
sosial (Social Investigation).
Beberapa Pilhan strategi ini dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar
dalam langkah-langkah model pembelajaran berbasis multikultural.
1. Strategi
Pencapaian Konsep
Digunakan
untuk memfasilitasi siswa dalam melakukan kegiatan eksplorasi budaya lokal
untuk menemukan konsep budaya apa yang dianggap menarik bagi dirinya dari
budaya daerah masing-masing, dan selanjutnya menggali nilai-nilai yang
terkandung dalam budaya daerah asal tersebut.
2. Strategi
cooperative learning
Digunakan
untuk menandai adanya perkembangan kemampuan siswa dalam belajar bersama-sama
mensosialisasikan konsep dan nilai budaya lokal dari daerahnya dalam komunitas
belajar bersama teman. Dalam tataran belajar dengan pendekatan multikultural,
penggunaan strategi cooperative learning,
diharapkan mampu meningkatkan kadar partisipasi siswa dalam melakukan
rekomendasi nilai-nilai lokal serta membangun cara pandang kebangsaan,
meningkatkan kualitas dan efektivitas proses belajar siswa, suasana belajar
yang kondusif dalam pembelajaran.
3. Strategi
analisis sosial
Difokuskan
untuk melatih kemampuan siswa berpikir secara induktif, dari setting ekspresi
dan komitmen nilai-nilai budaya lokal (cara pandang lokal) menuju kerangka dan
bangunan tata pikir atau cara pandang yang lebih luas dalam lingkup nasional (melalui
cara pandang kebangsaan).
4. Strategi
analisis nilai
Dari
kemampuan ini, siswa memiliki keterampilan mengembangkan kecakapan hidup dalam
menghormati budaya lain, toleransi terhadap perbedaan, akomodatif, terbuka dan
jujur dalam berinteraksi dengan teman (orang lain) yang berbeda suku, agama
etnis dan budayanya, memiliki empati yang tinggi terhadap perbedaan budaya
lain, dan mampu mengelola konflik dengan tanpa kekerasan (conflict non violent).
Bertolak
dari keempat strategi pembelajaran di atas, pola pembelajaran berbasis
multikultural dilakukan untuk meningkatkan kesadaran diri siswa terhadap
nilai-nilai keberbedaan dan keberagaman yang melekat pada kehidupan siswa lokal
sebagai faktor yang sangat potensial dalam membangun cara pandang kebangsaan.
Dengan kesadaran diri siswa terhadap nilai-nilai lokal, siswa di samping
memiliki ketegaran dan ketangguhan secara pribadi, juga mampu melakukan
pilihan-pilihan rasional (rational choice)
ketika berhadapan dengan isu-isu lokal, nasional dan global. Siswa mampu
menatap perspektif global sebagai suatu realitas yang tidak selalu dimaknai
secara emosional, akan tetapi juga rasional serta tetap sadar akan jati diri
bangsa dan negaranya. Kemampuan akademik tersebut, salah satu indikasinya
ditampakkan oleh siswa dalam perolehan hasil pembelajaran yang dialami.
Kriteria
yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan kegiatan belajar siswa
adalah laporan kerja (makalah), unjuk kerja dan partisipasi yang ditampilkan
oleh siswa dalam pembelajaran dengan cara diskusi dan curah pendapat, yang
meliputi rasional berpendapat, toleransi dan empati terhadap menatap
nilai-nilai budaya daerah asal teman, serta perkembangan prestasi belajar siswa
setelah mengikuti tes di akhir pembelajaran. Selain itu, kriteria lain yang
dapat digunakan adalah unjuk kerja yang ditampilkan oleh guru di dalam
melaksanakan pendekatan multikultural dalam pembelajarannya.
Guru
yang bersangkutan selalu terlibat dalam setiap fase kegiatan pembelajaran, baik
dalam kegiatan diskusi dan refleksi hasil temuan awal, penyusunan rencana
tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dalam pelaksaan tindakan, diskusi
dan refleksi hasil pelaksanaan tindakan, dan penentuan/penyususunan rencana
tindakan selanjutnya dalam pencapain tujuan pembelajaran.
PENUTUP
A. Simpulan
Sekolah sebagai
system social pada hakikatnya merupakan susunan dari peran dan status yang
berbeda-beda, dimana masing-masing bagian tersebut terkonsentrasi pada satu
kekuatan legal structural yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan
tertentu. Secara intrinsik filosofi, visi, dan tujuan pendidikan
para pengembang pembelajaran sangat
dipengaruhi oleh akar budaya pengembang yang melandasi pandangan hidupnya.
Pengembangan perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran multikultural haruslah didahului oleh sosialisasi agar para
pengembang (guru) dapat mengembangkan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran,
proses belajar di kelas, dan evaluasi sesuai dengan prinsip pendekatan
multikultural. Pendekatan multikultural bukan saja mampu menjadi media
pengembangan budaya lokal tetapi juga merupakan media pengembang budaya
nasional, maupun budaya universal.
Langkah-langkah pembelajaran berbasis
budaya menuju transformasi kurikulum multikultural di sekolah dasar yaitu status quo atau
kurikulum dominan, hari libur dan
pahlawan (makanan, festival, & kesenangan), integrasi, belajar dan mengajar
antarbudaya, reformasi structural, hubungan manusia, pendidikan multikultural
selektif (, pendidikan multikultural transformatif (pendidikan persamaan dan
keadilan sosial).
Beberapa Pilhan strategi ini
dilaksanakan secara simultan, dan harus tergambar dalam langkah-langkah model
pembelajaran berbasis multicultural adalah strategi pencapaian konsep, strategi
cooperative learning, strategi
analisis social, dan strategi analisis nilai.
B.
Saran
Masyarakat dan
bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan
kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan
guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan
pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta
mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil
belajar.
Daftar Pustaka
Hasan, Hamid.2001. Pendekatan
Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional. Bandung:Universitas
Pendidikan Indonesia.
Near Pujangga. 2011.Pembelajaran Berbasis Multikultural. file:///D:/Yabtu/pembelajaran-berbasis-multikultural.html. (diakses : 15 Maret 2013.
Sutarno.2010.PJJ
S1 PGSD.Jakarta:Dirjen Perguruan Tinggi.
www.uns.ac.id/data/sp7.pdf (akses : 14 Maret 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar