I.
IDENTIFIKASI
MASALAH PENELITIAN
Berdasarkan
hasil pengamatan dan wawancara dengan guru tentang pembelajaran IPA materi
sistem peredaran darah di kelas V Semester 1 SDN Pakintelan 02 Semarang,
diperoleh beberapa masalah sebagai berikut :
Ø Aktivitas
siswa dalam pembelajaran IPA tentang Alat Peredaran Darah Manusia masih rendah,
kebanyakan siswa masih gaduh dan belum siap menghadapi pembelajaran
Ø Aktivitas
guru dalam pengelolaan pembelajaran IPA materi Alat Peredaran Darah Manusia
kurang baik, guru hanya menggunakan metode pembelajaran ceramah dan belum
menggunakan alat peraga dalam pembelajaran.
Ø Hasil
belajar siswa dalam pembelajaran IPA materi Alat Peredaran Darah Manusia
rendah, banyak siswa mendapat nilai di bawah KKM 70 dan rata-rata kelas hanya
mencapai nilai 60.
II.
PEMBATASAN
MASALAH
Masalah
yang mendominasi dalam pembelajaran IPA di SDN Pakintelan 02 Semarang adalah :
Ø Lemahnya
pemahaman konsep pada siswa karena guru
masih menggunakan metode pembelajaran ceramah dan jarang menggunakan
alat peraga sehingga siswa kurang tertarik untuk aktif dalam kegiatan
pembelajaran. Maka
guru ingin membandingkan metode pembelajaran yang dilakukan selama ini dengan
Pembelajaran Kooperatif tipe Make A Match.
A.
JUDUL
PENELITIAN
“
Keefektifan Model Kooperatif Tipe Make A
Match dalam Pembelajaran IPA Materi Alat Peredaran Darah Manusia Kelas V SDN
Pakintelan 02 Semarang “
B.
RUANG
LINGKUP PENELITIAN
Model
pembelajaran Kooperatif tipe Make A Match
pada pembelajaran IPA materi Alat Peredaran Darah Manusia.
C.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (UU RI No. 20 Tahun 2003).
Peraturan Pemerintah RI
Nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa: “Proses
pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa ,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik”. Upaya pemerintah tersebut harus ditindak
lanjuti sehingga mutu pendidikan menjadi kenyataan yang akan berdampak terhadap
pembangunan Indonesia di masa mendatang. Pembelajaran IPA (Sains) di sekolah
selalu mengacu pada kurikulum IPA. Di dalam kurikulum telah ditegaskan bahwa
pembelajaran IPA harus menekankan pada penguasaan kompetensi melalui serangkaian
proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Proses pembelajaran
yang tercantum pada peraturan pemerintah di atas sudah baik, karena sudah
mengandung gagasan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun kenyataan
dilapangan belum sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah yang telah
ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.
Hasil kajian penelitian
menunjukkan bahwa pembelajaran IPA di Sekolah masih banyak dilakukan secara
konvensional (pembelajaran berpusat pada guru) dan prestasi belajar IPA masih
sangat rendah bila dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya (Sardjono, 2000).
Permasalahan
pembelajaran IPA tersebut juga ditemui pada siswa kelas V SD N Pakintelan 02
Semarang. Peran
peserta didik tampak belum secara optimal diperlakukan sebagai subyek didik
yang memiliki potensi untuk berkembang secara mandiri. Posisi peserta didik
masih dalam situasi dan kondisi belajar yang menempatkan siswa dalam keadan
pasif, aktivitas belajar mengajar masih didominasi guru dalam menyampaikan
informasi yang secara garis besar bahan-bahannya telah tertulis dalam buku
paket. Guru jarang menggunakan alat peraga atau media
pelajaran IPA sekalipun di sekolah tersedia beberapa alat peraga IPA serta guru
tidak terbiasa untuk melibatkan siswa dalam melakukan kegiatan percobaan.
Guru kurang memberikan rangsangan berupa pertanyaan pada siswa sebelum
penyampaian materi, kurang melatih siswa dalam kegiatan kerja sama dengan
kelompok dan kurang memberikan reward
pada siswa. Dalam membahas materi IPA tidak terlihat
adanya upaya guru untuk menciptakan suasana pembelajaran
yang menyenangka. Pengajaran IPA yang diterapkan guru cenderung lebih
mengarahkan agar siswa terampil mengerjakan soal-soal tes, akibatnya pemahaman
konsep siswa rendah, keterampilan proses dan sikap ilmiah siswa tidak tumbuh.
Hal tersebut di atas juga didukung dengan hasil
pencapaian nilai mata pelajaran IPA kelas V di SD N Pakintelan 02 Semarang yang
masih kurang. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan
belajar (KBM) yang ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan
pendidikan untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahaun dan teknologi
merupakan nilai batas ambang kompetensi (Permendiknas No. 20 Tahun 2007 1-2).
Kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan SD N Pakintelan 02 Semarang
pada mata pelajaran IPA adalah 65. Hasil ulangan IPA kelas V di SD N Pakintelan
02 Semarang menunjukkan hasil yang belum memuaskan
walaupun nilai tertinggi mencapai 100, nilai
terendah 40 , dan
nilai rata-rata siswa 60
dari 27 siswa. Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa kelas V di SD N Pakintelan
02 Semarang belum semuanya mencapai ketuntasan KKM yang telah ditetapkan pihak
sekolah.
Pembelajaran IPA yang diharapkan adalah yang dapat
mengembangkan keterampilan proses, pemahaman konsep, aplikasi konsep, sikap
ilmiah siswa, serta mendasarkan kegiatan IPA pada isu-isu yang berkembang di
masyarakat (Horsley, et al, 1990:40-42). Kenyataan Pembelajaran IPA yang ada di SD N Pakintelan 02 Semarang belum menggunakan
media, strategi dan model
pembelajaran yang inovatif. Guru
menggunakan media gambar tetapi belum digunakan secara maksimal serta
menggunakan buku paket dan LKS yang sama dengan siswa sebagai sumber belajar
sehingga pengembangan dalam pembelajaran IPA masih kurang.
Hal tersebut mengakibatkan proses pembelajaran tidak menarik dan membosankan. Siswa kurang terlibat dalam
proses belajar sehingga kegiatan pembelajaran belum berjalan optimal karena guru hanya
mengutamakan penilaian pada ranah kognitif. Seharusnya penilaian
individu mencakup tiga ranah yaitu, kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dengan
menggunakan model-model pembelajaran yang inovatif diharapkan setiap pembelajaran
IPA akan lebih menyenangkan. Guru bisa membagi siswa dalam kelompok-kelompok
kecil atau menggunakan permainan sehingga siswa bisa ikut berperan aktif dalam proses
pembelajaran dan siswa tidak merasa
bosan. Dengan bekerja secara kelompok diharapkan siswa
dapat belajar bekerjasama dengan
orang lain, saling bertukar pikiran dan belajar sambil bermain. Sehingga didalam suatu kelas semua siswa dapat merasa senang dan tertarik dalam setiap
pembelajaran IPA karena guru selalu menggunakan model-model yang inovatif.
Untuk mengatasi permasalahan yang terjadi, diperlukan
upaya untuk memperbaiki kualitas pembelajaran agar dapat meningkatkan keaktifan
dan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran agar
dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa. Salah satu
alternatif model pembelajaran IPA yang diterapkan untuk meningkatkan
partisipasi siswa dalam pembelajaran pembelajaran IPA di sekolah dasar adalah
model pembelajaran kooperatif tipe Make A
Match. Model tersebut dirancang untuk mendorong siswa berpartisipasi dalam
pembelajaran IPA. Hal tersebut berarti, prinsip pembelajaran IPA adalah proses
aktif.
Artazt dan Newman ( 1990:448 ) dalam Trianto ( 2009:56 )
menyatakan bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu
tim untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
Jadi, dengan menggunakan model ini siswa dapat belajar bekerjasama dalam suatu
kelompok. Make A Match merupakan
salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif. Lorry Curran ( 1994 ) menyatakan bahwa Metode
make a match adalah metode pembelajaran aktif untuk mendalami atau melatih
materi yang telah dipelajari. Dengan
model pembelajarn kooperatif tipe Make A
Match kegiatan pembelajaran akan sedikit riuh, tetapi kegiatan tersebut
akan sangat menyenangkan dan tidak membosankan. Penerapan
metode ini dimulai dari teknik yaitu siswa disuruh mencari pasangan kartu yang
merupakan jawaban/soal sebelum batas waktunya, siswa yang dapat mencocokkan
kartunya diberi poin sehingga siswa
akan lebih tertantang dan suasana dikelas akan lebih menyenangkan karena guru
memberikan reward pada siswa yang
dapat menemukan pasangannnya dengan cepat.
Adapun
manfaat dalam penelitian ini adalah suasana kegembiraan akan tumbuh dalam
proses pembelajaran, membutuhkan ketelitian dalam menentukan pasangan jawaban, kerja sama
antar sesama siswa terwujud dengan dinamis, dan munculnya dinamika gotong
royong yang merata diseluruh siswa. Model pembelajaran Make A Match ini mampu memberikan rasa senang, bergairah, bersemangat dalam mengerjakan
tugas, sehingga dapat mengaktifkan siswa pada materi alat peredaran darah pada manusia di kelas V SDN Pakintelan 02 Semarang. Keaktifan siswa dalam
pembelajaran ini akhirnya berdampak pada keberhasilan belajar siswa tentang
materi tersebut.
Berdasarkan penelitian
yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Momoy Dandelion dengan judul penelitian Peningkatan Kualitas Pembelajaran
IPA Siswa Kelas V SDN Sukorejo 01 Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match menunjukkan hasil bahwa
kegiatan pembelajaran yang menggunakan model kooperatif tipe make a match dapat
meningkatkan
partisipasi dan keaktifan siswa dalam kelas sehingga nilai hasil belajar
menjadi lebih meningkat.
Berdasarkan analisis
tersebut peneliti membuat gagasan untuk memecahkan masalah dalam pembelajaran IPA yang ada di SDN
Pakintelan 02 Semarang. Peneliti
menggunakan model pembelajaran Make A Match sebagai alternatif pemecahan
masalah dengan judul “ Keefektifan Model Kooperatif Tipe
Make A Match dalam Pembelajaran IPA
Materi Alat Peredaran Darah Manusia Kelas V SDN
Pakintelan 02 Semarang”. Dengan penggunaan
model pembelajaran kooperatif tipe Make A
Match diharapakan siswa lebih aktif dan berpartisipas mengikuti proses
pembelajaran IPA dikelas sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
2.
Perumusan
Masalah
Apakah
pembelajaran IPA dengan menggunakan
model
pembelajaran Kooperatif tipe Make A Match
lebih efektif daripada pembelajaran IPA dengan menggunakan metode ceramah
materi Peredaran Darah Manusia di Kelas V semester 1 SDN Pakintelan 02
Semarang?
3.
Tujuan
Untuk mengetahui apakah pembelajaran
IPA dengan menggunakan model
pembelajaran Kooperatif tipe Make A Match
lebih efektif daripada pembelajaran IPA dengan menggunakan metode ceramah
materi Peredaran Darah Manusia di Kelas V semester 1 SDN Pakintelan 02
Semarang.
4.
Manfaat
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan referensi atau pendukung penelitan
selanjutnya.
b. Menambah kajian tentang hasil penelitian pembelajaran
IPA.
c. Mengembangkan praktik pembelajaran pada mata pelajaran
IPA
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru
1) Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi guru
tentang model Make A Match .
2) Dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru
dalam mengajar.
3) Dapat meningkatkan profesionalisme dalam proses
pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan menyenangkan.
b. Bagi Siswa
1) Dengan menggunakan model
Make A Match siswa dapat lebih termotivasi untuk belajar IPA.
2) Dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran.
3) Dapat meningkatkan pemahaman siswa dan menggali
potensi-potensi siswa dalam pembelajaran IPA
c. Bagi Sekolah
1) Sebagai tolok ukur pengambilan kebijakan dalam rangka
perbaikan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru sehingga tujuan
penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat dicapai secara optimal
d. Bagi Peneliti
1) Dapat dijadikan sebagai landasan untuk menulis
penelitian selanjutnya
D.
KAJIAN
PUSTAKA
1.
Kajian
Teori
A. Belajar
Menurut
William Brownele (dalam Karso, 1999: 1.22) pada hakekatnya belajar merupakan
suatu proses yang bermakna, dan belajar matematika harus merupakan belajar
bermakna dan pengertian. Hal ini sejalan dengan pendapat L. Thorndike
(1874-1949) bahwa belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu
stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan atau dengan kata lain
belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon.
Sedangkan Gagne (1977 ; 3) dalam (Trianni,
2004 ; 2) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan disposisi atau kecakapan
manusia, yang berlangsung selama periode waktu tertentu, dan perubahan perilaku
itu tidak berasal dari proses pertumbuhan.
B. Pembelajaran
Pembelajaran
adalah membentuk kreasi lingkungan yang dapat membentuk atau mengubah struktur
kognitif siswa (Wina Sanjaya : 2005). Pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar
(UU RI No. 20 : 2003, Bab 1 Pasal 1 ayat 20).
Pembelajaran
merupakan jalan yang harus ditempuh oleh seorang pelajar untuk mengerti suatu
hal yang sebelumnya tidak diketahui. Seseorang yang melakukan belajar dapat
disebut telah mengerti sesuatu hal bila ia juga dapat menerapkan apa yang telah
ia pelajari. Keberhasilan belajar akan terjamin apabila ia dapat mengajak para
siswanya mengerti suatu masalah melalui tahap proses belajar, karena dengan itu
siswa akan memahami hal yang diajarkan.
1.
Prinsip-prinsip
Pembelajaran
Prinsip
yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kegiatan pembelajaran menurut Wina
Sanjaya (2005 : 30-32) adalah sebagai berikut :
a. Berpusat
pada siswa
Dalam
proses pembelajaran siswa menempati posisi sentral sebagai subyek belajar.
b. Belajar
dengan melakukan
Belajar
bukan hanya sekedar mendengarkan, mencatat sambil duduk di bangku, akan tetapi
belajar adalah proses beraktifitas dan berbuat (Learning BY Doing).
c. Mengembangkan
kemampuan sosial
Proses
pembelajaran bukan hanya mengembangkan kemampuan intelektual akan tetapi juga
kemampuan sosial. Proses pembelajaran harus dapat mengembangkan dua sisi ini
secara seimbang.
d. Mengembangkan
Keingintahuan, Imajinasi dan Fitrah
Proses
pembelajaran harus mampu melatih kepekaan dan keingintahuan setiap individu
terhadap segala sesuatu yang terjadi.
e. Mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah
Pembelajaran
adalah proses berfikir untuk memecahkan masalah. Oleh sebab itu pengetahuan
yang diperoleh mestinya dapat dijadikan sebgai alat untuk mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah.
2. Faktor-faktor
Pembelajaran
Faktor-faktor yang
harus diperhatikan dalam proses pembelajaran agar berlangsung efektif menurut
Wina Sanjaya (2005 : 32-33) yaitu sebagai berikut :
a. Proses
pembelajaran harus memberikan peluang kepada siswa agar mereka secara langsung
dapat berpartisipasi dalam proses pembelajaran
b. Guru
perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk merefleksi apa yang telah
dilakukannya
c. Proses
pembelajaran harus mempertimbangkan perbedaan individual
d. Proses
pembelajaran harus dapat memupuk kemandirian disamping kerjasama.
Jadi
dengan penerapan model pembelajaran tipe Make
A Match diharapkan dapat tercipta pembelajaran yang berdasarkan pada PAIKEM
dengan memperhatikan prinsip-prinsip dan faktor-faktor dalam pembelajaran.
C. Hakekat Hasil belajar
Menurut
Nana Sudjana hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan
menggunakan alat pengukuran yaitu berupa tes yang disusun secara terencana,
baik tes tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan. Sedangkan S. Nasution
berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang
belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan tetapi juga membentuk kecakapan dan
penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar. Hasil belajar adalah
hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari mata
pelajaran yang berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Untuk melihat hasil
belajar dilakukan suatu penilaian terhadap siswa yang bertujuan untuk
mengetahui apakah siswa telah menguasai materi atau belum. Penilaian merupakan
upaya sistematis yang dikembangkan oleh suatu institusi pendidikan yang
ditujukan untuk menjamin tercapainya kualitas proses pendidikan serta kualitas
kemampuan peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Cullen,
2003 dalam Fathul Himam, 2004).
Menurut Dimyati
dan Mudjiono,
hasil belajar
merupakan hal
yang dapat
dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan sisi guru. Dari sisi
siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila
dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut
terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Sedangkan
dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran.
Menurut Oemar Hamalik hasil belajar adalah
bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang
tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak
mengerti menjadi mengerti, dan dari tidak bisa menjadi bisa.
Berdasarkan teori Taksonomi Bloom hasil
belajar dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain
kognitif,
afektif dan
psikomotor.
Uraian dari masing-masing ranah
tersebut adalah:
a. Ranah kognitif.
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil
belajar intelektual yang terdiri
dari enam aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis,
sintesis, dan penilaian.
b. Ranah Afektif
Ranah afektif
berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang
kemampuan yaitu menerima, menjawab atau
reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai.
c. Ranah Psikomotor
Ranah
psikomotor meliputi ketrampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi
neuromuscular (menghubungkan, mengamati). Tipe hasil belajar kognitif lebih menonjol,
namun hasil belajar afektif dan psikomotor juga harus menjadi bagian dari hasil
penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah.
Hasil belajar
adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman
belajarnya. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau
kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat dicapai apabila
siswa sudah memahami belajar dengan diiringi oleh perubahan tingkah laku yang
lebih baik lagi.
Howard Kingsley
membagi 3 macam hasil belajar yaitu ketrampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan
pengertian, serta sikap dan cita-cita. Pendapat ini menunjukkan hasil perubahan
dari semua proses belajar. Hasil belajar ini akan melekat terus pada diri
siswa karena sudah menjadi bagian dalam
kehidupan siswa tersebut.
Berdasarkan
pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu
penilaian akhir dari proses dan pengenalan yang telah dilakukan berulang-ulang.
Hasil belajar akan tersimpan lama atau bahkan tidak akan hilang selama-lamanya
karena hasil belajar turut serta dalam membentuk pribadi individu yang selalu
ingin mencapai hasil yang lebih baik lagi, sehingga akan merubah cara berpikir
serta menghasilkan perilaku kerja yang lebih baik. Dengan penggunaan model Make A Match
diharapkan kualitas dan aktivitas pembelajaran akan meningkat sehingga hasil
belajar siswa dapat meningkat dan hasil belajar akan
tersimpan lama
karena penggunaan model tersebut menyenangkan.
D. Teori Aktivitas Siswa
Keaktifan adalah kegiatan yang dilakukan
siswa dalam proses pembelajaran untuk mencapai hasil belajar (Anni, 2004 : 52). Keaktifan
adalah keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, hingga proses evaluasinya (Mutohir dkk, 1996 : 4).
Menurut Ardhana (2009) keaktifan siswa dapat dilihat dari
:
a. Perhatian siswa
terhadap penjelasan guru.
b. Kerjasama dalam kelompok.
c. Kemampuan siswa mengemukakan pendapat dalam kelompok ahli.
d. Kemampuan siswa mengemukakan pendapat dalam kelompok asal.
e. Memberi kesempatan berpendapat pada teman dalam kelompok
f. Mendengarkan dengan baik ketika teman berpendapat.
g. Memberi gagasan yang cemerlang.
h. Membuat perencanaan dan pembagian tugas yang matang.
i. Keputusan berdasarkan pertimbangan kelompok lain.
j. Memanfaatkan potensi anggota kelompok.
k. Saling membantu dan menyelesaikan masalah.
b. Kerjasama dalam kelompok.
c. Kemampuan siswa mengemukakan pendapat dalam kelompok ahli.
d. Kemampuan siswa mengemukakan pendapat dalam kelompok asal.
e. Memberi kesempatan berpendapat pada teman dalam kelompok
f. Mendengarkan dengan baik ketika teman berpendapat.
g. Memberi gagasan yang cemerlang.
h. Membuat perencanaan dan pembagian tugas yang matang.
i. Keputusan berdasarkan pertimbangan kelompok lain.
j. Memanfaatkan potensi anggota kelompok.
k. Saling membantu dan menyelesaikan masalah.
Dari pernyataan di atas, maka penulis
menyimpulkan bahwa pengertian keaktifan secara umum adalah kegiatan yang
dilakukan siswa dalam proses pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
hingga proses evaluasinya untuk mencapai hasil belajar. Sedangkan keaktifan
siswa dapat dilihat dari peran aktif siswa secara individu maupun dalam
kelompok pada proses pembelajaran. Sehingga penggunaan model Make A Match pada pembelajaran IPA dapat
meningkatkan keaktifan siswa karena model ini menuntut siswa untuk bekarja sama
dengan temannya sehingga tercipta suasana pembelajaran yang menyenangkan.
1. Hakikat
Aktivitas Siswa
Aktivitas siswa adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran,
perhatian dan aktivitas dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan
proses belajar mengajar dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut.
Peningkatan aktivitas siswa yaitu meningkatnya jumlah siswa yang terlibat aktif
belajar, meningkatnya jumlah siswa yang bertanya dan menjawab, meningkatnya
jumlah siswa yang saling berinteraksi membahas materi pembelajaran. Metode
belajar mengajar yang bersifat partisipatoris yang dilakukan guru akan mampu
membawa siswa dalam situasi yang lebih kondusif, karena siswa lebih berperan
dan lebih terbuka serta sensitif dalam kegiatan belajar mengajar.
Indikator aktivitas siswa dapat dilihat dari : pertama, mayoritas siswa beraktivitas dalam pembelajaran; kedua, aktivitas pembelajaran didominasi oleh kegiatan siswa; ketiga, mayoritas siswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru dalam LKS melalui pendekatan pembelajaran berdasarkam masalah ( Problem Based Learning)
Indikator aktivitas siswa dapat dilihat dari : pertama, mayoritas siswa beraktivitas dalam pembelajaran; kedua, aktivitas pembelajaran didominasi oleh kegiatan siswa; ketiga, mayoritas siswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru dalam LKS melalui pendekatan pembelajaran berdasarkam masalah ( Problem Based Learning)
2. Minat
Belajar Siswa
Secara
bahasa minat berarti ”kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu” minat
merupakan sifat yang relatif menetap pada diri seseorang. Minat besar sekali
pengaruhnya terhadap kegiatan seseorang sebab dengan minat ia akan melakukan
sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya tanpa minat seseorang tidak mungkin
melakukan sesuatu. Sardiman
A.M berpendapat minat diartikan sebagai suatu kondisi yang terjadi apabila
seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan
keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri.
Minat
adalah keinginan yang tumbuh karena adanya dorongan dari luar atau dari dalam
diri seseorang (Anni, 2004 : 56). Minat
adalah keinginan yang tumbuh karena adanya dorongan dari dalam diri seseorang
yang dapat menimbulkan aktifitas belajar dalam mencapai tujuan (Mustofa, 2001 :
87).
Dari pernyataan-pernyataan tersebut
penulis setuju dengan poendapat dari
(Anni, 2004 : 56) bahwa pengertian minat yaitu keinginan yang tumbuh
karena adanya dorongan dari luar atau dari dalam diri seseorang yang dapat
menimbulkan aktifitas belajar dalam mencapai tujuan.
Jadi disini guru harus dapat memotivasi siswa agar mereka tertarik saat
mengikuti proses pembelajaran. Memberikan reward
dan punishman pada siswa
merupakan suatu hal kecil yang dapat memotivasi siswa maka, penggunaan model
Make A Match merupakan salah satu model yang dapat diterapkan sebab dalam
sintak model ini guru akan memberikan reward pada siswa yang berhasil menemukan
pasangannya dengan cepat.
E.
Kajian Materi Pembelajaran IPA
Untuk menanggapi kemajuan era
global dan semakin pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kurikulum sains
termasuk IPA terus disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara
nasional. Agar tidak tertinggal dan untuk terus menyelaraskan dengan
perkembangan jaman maka kita dituntut untuk terus memajukan ilmu pengetahuan
tersebut. Sehubungan dengan hal itu, sains memegang peran yang cukup signifikan
dalam peningkatan kualitas sumber daya teknologi karena di dalamnya dipelajari
berbagai sumber, asal, pemberdayaan serta pemanfaatan teknologi baik yang
berasal dari alam maupun rekayasa manusia.
1. Pengertian IPA
Ilmu Pengetahuan Alam adalah
istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu
dimana obyeknya
adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum,
berlaku kapan pun dimana pun. Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik &
nonmanusia tentang Bumi
dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan,
yang keduanya dibedakan dari ilmu sosial, humaniora, teologi,
dan seni.
2. Fungsi IPA di Sekolah
Dasar
Dalam kehidupan sehari-hari IPA
berfungsi sebagai media untuk menguasai konsep dan manfaat IPA serta memberikan
bekal pengetahuan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
3. Tujuan Pembelajaran
Adapun tujuan pembelajaran IPA di Sekolah Dasar adalah sebagai berikut:
a.
Untuk menekankan pemahaman tentang pengetahuan dan
konsep-konsep IPA yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Untuk membangun imaginasi dan rasa ingin tahu siswa
dan agar bisa bersikap positif menanggapi kemajuan sains dan teknologi.
c.
Untuk meningkatkan kompetensi siswa untuk menyelidiki
alam sekitarnya, memecahkan masalah dan membuat kesimpulan.
d.
Ikut serta dalam memelihara dan menjaga lingkungan
alam.
4. Ruang Lingkup
Di tingkat sekolah dasar (SD), Ruang
lingkup mata pelajaran IPA meliputi dua aspek diantaranya:
a.
Pemahaman konsep dan penerapannya dalam kehidupan.
b.
Penyelidikan atau penelitian, berkomunikasi ilmiah,
pengembangan kreatifitas, dan pemecahan masalah, sikap dan nilai ilmiah sebagai
kerja ilmiah.
c.
Pemahaman konsep dan penerapannya.
Berdasarkan pengertian tersebut maka untuk mencapai kesuksesan dalam
pembelajaran IPA , guru, siswa, alat peraga adalah faktor penting yang sangat
mendukung keberhasilan. Selain itu penggunaan strategi pembelajaran yang
relevan atau sesuai dengan materi pembelajaran juga merupakan faktor penunjang
untuk bisa memahami materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Oleh sebab itu digunakan model Make A Match sebab model tersebut
menekankan pada aktivitas siswa dalam bekerja sama dengan temannya sehingga
siswa dituntut untuk berperan aktif dalam pembelajaran. Jadi dengan penggunaan model
tersebut maka pembelajaran IPA dapat mencapai kesuksesan akibat peran dari
guru, siswa dan strategi pemeblajaran yang sesuai.
F. Media
Pembelajaran
Pengertian
media mengarah pada sesuatu yang mengantar/meneruskan informasi (pesan) antara
sumber (pemberi pesan) dan penerima pesan. Media adalah segala bentuk dan
saluran yang dapat digunakan dalam suatu proses penyajian informasi (AECT Task
Force,1977:162) ( dalam Latuheru,1988:11). Robert Heinich dkk (1985:6)
mengemukakan definisi medium sebagai sesuatu yang membawa informasi antara
sumber (source) dan penerima (receiver) informasi. Masih dari sudut pandang
yang sama, Kemp dan Dayton (1985:3), mengemukakan bahwa peran media dalam
proses komunikasi adalah sebagai alat pengirim (transfer) yang mentransmisikan
pesan dari pengirim (sander) kepada penerima pesan atau informasi (receiver).
Jerold Kemp (1986) dalam Pribadi (2004:1.4) mengemukakan beberapa faktor yang merupakan karakteristik dari media, antara lain:
Jerold Kemp (1986) dalam Pribadi (2004:1.4) mengemukakan beberapa faktor yang merupakan karakteristik dari media, antara lain:
a. Kemampuan dalam menyajikan gambar
(presentation).
b. Faktor ukuran (size); besar atau kecil.
c. Faktor warna (color): hitam putih atau berwarna.
d. Faktor gerak: diam atau bergerak.
e. Faktor bahasa: tertulis atau lisan.
f. Faktor keterkaitan antara gambar dan suara: gambar saja, suara saja, atau gabungan antara gambar dan suara.
b. Faktor ukuran (size); besar atau kecil.
c. Faktor warna (color): hitam putih atau berwarna.
d. Faktor gerak: diam atau bergerak.
e. Faktor bahasa: tertulis atau lisan.
f. Faktor keterkaitan antara gambar dan suara: gambar saja, suara saja, atau gabungan antara gambar dan suara.
Selain
itu, Jerold Kemp dan Diane K. Dayton (dalam Pribadi,2004:1.5) mengemukakan
klasifikasi jenis media sebagai berikut:
a. Media cetak.
b. Media yang dipamerkan (displayed media).
c. Overhead transparency.
d. Rekaman suara.
e. Slide suara dan film strip.
f. Presentasi multi gambar.
g. Video dan film.
h. Pembelajaran berbasis komputer (computer based learning)
a. Media cetak.
b. Media yang dipamerkan (displayed media).
c. Overhead transparency.
d. Rekaman suara.
e. Slide suara dan film strip.
f. Presentasi multi gambar.
g. Video dan film.
h. Pembelajaran berbasis komputer (computer based learning)
Istilah media disini dilihat dari segi
penggunaan, serta faedah dan fungsi khusus dalam kegiatan/proses belajar
mengajar, maka yang digunakan adalah media pembelajaran. Media pembelajaran
adalah semua alat bantu atau benda yang digunakan dalam kegiatan belajar
mengajar, dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran dari
sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima (dalam hal ini anak didik
ataupun warga belajar). Pesan (informasi) yang disampaikan melalui media, dalam
bentuk isi atau materi pengajaran itu harus dapat diterima oleh penerima pesan
(anak didik), dengan menggunakan salah satu ataupun gabungan beberapa alat
indera mereka. Bahkan lebih baik lagi bila seluruh alat indera yang dimiliki
mampu dapat menerima isi pesan yang disampaikan (Latuheru,1988:13).
Dari beberapa penjelasan media pembelajaran di atas penulis setuju dengan pendapat (Latuheru,1988:13), bahwa media pembelajaran adalah suatu alat, bahan ataupun berbagai macam komponen yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar untuk menyampaikan pesan dari pemberi pesan kepada penerima pesan untuk memudahkan penerima pesan menerima suatu konsep. Salah satu media yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPA adalah pasangan kartu materi ataupun jawaban yang dapat digunakan dengan model Make A Match.
Dari beberapa penjelasan media pembelajaran di atas penulis setuju dengan pendapat (Latuheru,1988:13), bahwa media pembelajaran adalah suatu alat, bahan ataupun berbagai macam komponen yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar untuk menyampaikan pesan dari pemberi pesan kepada penerima pesan untuk memudahkan penerima pesan menerima suatu konsep. Salah satu media yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPA adalah pasangan kartu materi ataupun jawaban yang dapat digunakan dengan model Make A Match.
G. Metode Mengajar
“Metode adalah cara yang teratur dan terpikir
baik-baik untuk mencapai suatu maksud tertentu, cara menyelidiki (mengajar dan
sebagainya)”. (W.J.S Poerwadarminta, 1986 : 646). Yang dimaksud dengan metode
mengajar menurut T. Raka Joni dalam bukunya “Strategi Belajar Belajar” adalah
sebagai berikut : Metode mengajar adalah cara, yang fungsinya merupakan alat
untuk mencapai tujuan. Dengan cara-cara yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan
pengajaran. (T. Raka Joni, 1980 : 783).
Model pembelajaran yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Make A Match.
1. Pengertian
Kooperatif
Adalah
pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa
untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan
belajar.
2. Konsep
Dasar Pembelajaran Kooperatif
Pada
dasarnya manusia mempunyai perbedaan, dengan perbedaan itu manusia saling asah,
asih, asuh (saling mencerdaskan). Dengan pembelajaran kooperatif diharapkan
saling menciptakan interaksi yang asah, asih, asuh sehingga tercipta masyarakat
belajar (learning community). Siswa tidak hanya terpaku belajar pada guru,
tetapi dengan sesama siswa juga.
Pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan
interaksi yang silih asuh untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman
yang dapat menimbulkan permusuhan, sebagai latihan hidup di masyarakat.
3. Ciri-ciri
Pembelajaran Kooperatif
Didalam
pembelajaran kooperatif terdapat elemen-elemen yang berkaitan. Menurut Lie ( 2004 ) :
a.
Saling ketergantungan
positif
Dalam pembelajaran kooperatif, guru
menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan atau
yang biasa disebut dengan saling ketergantungan positif yang dapat dicapai
melalui : saling ketergantungan mencapai tujuan, saling ketergantungan
menyelesaikan tugas, saling ketergantungan bahan atau sumber, saling
ketergantungan peran, saling ketergantungan hadiah.
b.
Interaksi tatap muka
Dengan hal ini dapat memaksa siswa
saling bertatap muka sehingga mereka akan berdialog. Dialog tidak hanya
dilakukan dengan guru tetapi dengan teman sebaya juga karena biasanya siswa
akan lebih luwes, lebih mudah belajarnya dengan teman sebaya.
c.
Akuntabilitas
individual
Pembelajaran kooperatif menampilkan
wujudnya dalam belajar kelompok. Penilaian ditunjukkan untuk mengetahui
penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian
ini selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua kelompok
mengetahui siapa kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan
bantuan,maksudnya yang dapat mengajarkan kepada temannya. Nilai kelompok
tersebut harus didasarkan pada rata-rata, karena itu anggota kelompok harus
memberikan kontribusi untuk kelompnya. Intinya yang dimaksud dengan
akuntabilitas individual adalah penilaian kelompok yang didasarkan pada
rata-rata penguasaan semua anggota secara individual.
d.
Keterampilan menjalin
hubungan antar pribadi
Keterampilan sosial dalam menjalin hubungan antar siswa harus diajarkan.
Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi akan memperoleh teguran
dari guru juga siswa lain.
Model
pembelajaran Make A Match (mencari pasangan) ini
dikembangkan oleh Lorna Curan (1994). Model pembelajaran ini dapat digunakan
untuk semua mata pelajaran termasuk IPA.
Model pembelajaran Make-A Match, merupakan bentuk model
pembelajaran dengan melalui permainan yang sesuai dengan tahap permainan dengan
formalisasi. Make A Match (Lorna
Curran 1994) adalah salah satu permainan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1)
Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa
konsep atau topik yang
cocok sesuai
review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.
2)
Setiap peserta didik mendapat satu kartu.
3)
Tiap peserta didik memikirkan jawaban /soal dari kartu
yang dipegang.
4)
Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai
kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban)
5)
Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya
sebelum batas waktu diberi point.
6)
Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap
peserta didik mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.
7)
Demikian untuk permainan selanjutnya seperti tersebut
di atas.
·
Keunggulan model pembelajaran Make A Match adalah :
1)
Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam
proses pembelajaran.
2)
Membutuhkan ketelitian dalam menentukan
pasangan jawaban.
3)
Kerja sama antar sesama siswa terwujud
dengan dinamis.
4)
Munculnya dinamika gotong royong yang
merata diseluruh siswa.
·
Kelemahan model pembelajaran Make A Match adalah :
1)
Jika tidak direncanakan dengan baik maka akan banyak waktu terbuang
2)
Pada awal-awal penerapan metode ini, banyak siswa yang malu
bisa berpasangan dengan lawan jenisnya
3)
Menggunakan metode ini terus menerus akan menimbulkan
kebosanan
Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode mengajar adalah cara yang
paling tepat, bagaimana guru mengajar suatu materi pelajaran secara terarah,
efisien dan sistematis untuk mencapai tujuan belajar. Dengan kondisi yang ada di SDN
Girimulyo magelang yang belum menggunakan model pembelajaran yang sesuai maka
model tersebut cocok untuk
memperbaiki kualitas pembelajaran agar dapat meningkatkan keaktifan dan
partisipasi siswa dalam proses pembelajaran sehingga hasil belajar IPA juga
meningkat.
H.
Implementasi Model Make A Match pada
Pembelajaran IPA
Pembelajaran
Kooperaitf adalah pendekatan
pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja
sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Artzt dan Newman ( 1990:448 ) dalam Trianto ( 2009:56
) menyatakan bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu
tim untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
Dengan demikian maka model kooperatif digunakan oleh penulis sebgai model dalam
pelajaran IPA materi alat peredaran darah pada manusia agar dapat meningkatkan
aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran dengan bekerja sama dengan teman
satu kelas.
Berdasarkan
hal tersebut maka metode pembelajaran yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Make A Mactch. Medel tersebut lebih efektif dibandingkan dengan metode
ceramah. Model tersebut, merupakan
bentuk model pembelajaran melalui permainan yang sesuai dengan tahap permainan
dengan formalisasi. Menurut
(Lorna
Curran 1994) Make A Match adalah
salah satu permainan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Guru
menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok sesuai review, satu bagian kartu
soal dan bagian lainnya kartu jawaban.
2.
Setiap peserta didik mendapat satu kartu.
3.
Tiap peserta didik memikirkan jawaban /soal dari kartu
yang dipegang.
4.
Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai
kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban)
5.
Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya
sebelum batas waktu diberi point.
6.
Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap
peserta didik mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.
7.
Demikian untuk permainan selanjutnya seperti tersebut
di atas.
Model
kooperatif tipe Make A Match ini
dapat digunakan pada siswa kelas V SDN Pakintelan 02 pada pembelajaran IPA
dengan materi alat peredaran darah pada manusia. Sebab dalam
pembelajaran belum digunakan model pembelajaran yang menarik, guru hanya
menggunakan model pembelajaran konvensional saja sehingga tidak ada daya tarik
bagi siswa untuk berkonsentrasi pada pelajaran. Kebiasan guru bertindak sebagai
pemberi informasi mengembangkan budaya belajar yang menerima dengan
pengembangan berpikir pada tingkat hafalan. Peserta didik masih kuat
kedudukannya sebagai murid yang memusatkan perhatiannya pada bahan yang
disajikan guru. Materi yang disampaikan oleh guru belum mengacu pada
pembelajaran yang inovatif, selain itu guru kurang komunikatif ketika dalam
mengajar untuk meningkatkan keaktifan siswa, lingkungan belajar kurang kondusif
dan kurang tertata rapi, serta kurang pemberian motivasi pada anak. Motivasi
bisa diberikan melalui hal-hal kecil misalnya saja pemberian reward
atau punishman dari guru yang
mengajar. Hal tersebut mengakibatkan respon siswa masih rendah, tidak aktif,
kreatif, dan berpikir kritis, dengan kata lain motivasi belajar siswa dalam
pembelajaran IPA rendah.
Berdasarkan uraian tersebut maka
model kooperatif tipe Make A Match
tepat untuk digunakan sebagai alternatif model pembelajarn IPA. Dalam model
tersebut siswa akan belajar bekerja sama secara kelompok dan merupakan suatu model
pembelajaran melalui permainan untuk mencari pasangan
kartu, sehingga suasana didalam kelas akan sedikit riuh tetapi, model tersebut
akan sangat menyenangkan. Di dalam kelas
akan tercipta suasana pembelajaran yang efektif sehingga siswa dapat berperan
aktif dalam proses pembelajaran karena siswa tidak lagi memusatkan perhatiannya
pada bahan yang disajikan guru tetapi, mereka dapat bekerja secara kooperatif.
Dalam sintak model Make A Match diatas dijelaskan bahwa, setiap peserta didik yang dapat
mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi point. Dalam
hal ini reward sangat penting diberikan agar memotivasi siswa sehingga
mereka terpacu untuk menjadi yang terbaik. Maka, model tersebut sangat tepat
digunakan karena dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran IPA materi alat
peredaran darah manusia.
2. Kajian Empiris
1. Pengaruh
model Make A Match pada pembelajaran
IPA kelas V SDN Pandanwangi 04 Malang oleh Dwi Retnowati.
Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) penerapan model Make A Match, (2) aktivitas belajar siswa ketika diterapkan model Make A Match, (3) hasil belajar siswa
setelah diterapkan model Make A Match.
2.
Agus S, S.Pd. (2010), dalam
penelitiannya yang berjudul “Keefektifan Model Make A Match Terhadap Materi Pelajaran IPA Siswa Kelas V SDN
Banyusari Sleman” mengungkapkan bahwa :
1. Keefektifan
model Make A Match mampu meningkatkan
aktivitas siswa dalam memahami materi pelajaran IPA dibandingkan dengan metode
ceramah.
2.
Antusiasme siswa dalam mengikuti
proses pembelajaran IPA mengalami peningkatan dengan diterapkannya model Make A Match pada proses pembelajaran.
Jadi,
dapat kita simpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match
telah banyak memberikan perbaikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
dibandingkan metode ceramah sehingga model ini patut kita terapkan dan gunakan
dalam pembelajaran. Dan kita harus dapat menentukan hal-hal apa saja yang harus
diperhatikan dalam penerapan model Make A Match
ini, agar
tujuan dari pembelajaran dapat tercapai dengan baik.
3.
Kerangka Berpikir
3.
Hipotesis
Ha : Rata-rata hasil
belajar IPA dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif Tipe Make A Match lebih baik dari rata-rata
hasil belajar siswa dengan menggunakan metode ceramah
Ho : Tidak ada
perbedaan rata-rata hasil belajar IPA
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
Tipe
Make A Match dari rata-rata hasil
belajar siswa dengan menggunakan metode ceramah.
E. METODE PENELITIAN
1.
Rancangan
Penelitian
Berdasarkan
tujuan penelitian ini, untuk mencari Keefektifan Model Kooperatif Tipe Make A Match dalam Pembelajaran IPA
Materi Alat Peredaran Darah Manusia Kelas V SD N Pakintelan 02 Semarang, maka
jenis penelitian ini digolongkan penelitian eksperimen. Pendekatan eksperimen
adalah penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan apa-apa yang akan terjadi
bila variabel-variabel tertentu atau dimanipulasi secara tertentu.
2.
Desain
Penelitian Eksperimen
Desain penelitian yang digunakan adalah pretest-postest control group design.
|
|
|
3.
Uji
Coba Instrumen
Rencana
uji coba pengembangan perangkat dan instrumen menggunakan uji awal dan uji
akhir (one group pretest- posttest
desain).
Dalam pelaksanaan ujicoba ini pertemuan pertama peneliti
memberikan contoh mengajar dengan pembelajaran Make A Match. Untuk
pertemuan berikutnya guru mitra dilibatkan sebagai guru yang mensosialisasikan
perangkat pembelajaran dan tes hasil belajar (Draf II) dan menyertakan dua
orang pengamat. Dari uji coba draf II dilakukan revisi akhir untuk memperoleh
draf final. Selanjutnya draf final
digunakan untuk eksperimen
a. Daya
Pembeda Butir Soal
Daya pembeda butir soal adalah kemampuan suatu butir
soal untuk membedakan siswa yang pandai (menguasai materi yang ditanyakan)
dengan siswa yang kurang pandai (belum atau tidak menguasai materi yang
ditanyakan). Tahap-tahap perhitungan daya pembeda butir soal adalah:
1. Para
siswa didaftarkan dalam peringkat pada sebuah tabel
2. Memisahkan
27%-33% nilai siswa dari kelompok atas dan kelompok bawah (Depdiknas, 2003).
3. Menghitung
daya pembeda butir soal dengan rumus
DP
= (Depdiknas,
2003)
Keterangan:
DP
= daya pembeda butir soal
=nilai rataan kelompok atas
=nilai rataan kelompok bawah
XM =
nilai maksimal setiap butir soal
b.
Tingkat
Kesukaran Butir Soal
Untuk
mengidentifikasi soal-soal mana yang baik dan mana yang kurang baik atau jelek,
dilakukan analisis butir soal, sehingga dapat diketahui tingkat kesukaran dan
daya pembeda dari masing-masing soal. Dalam menganalisis tingkat kesukaran soal
kita menggunakan asumsi validitas dan reliabilitas, dan juga ada kemungkinan
keseimbangan dari tingkat kesulitan tersebut (Panjaitan, 2008). Keseimabang
ayang dimaksud adalah adanya soal-soal yang dikategorikan soal mudah, sedang,
dan sukar secara profesional (Panjaitan, 2008). Selanjutnya, tingkat kesukaran
dapat dipandang sebagai kesanggupan siswa menjawab soal, tidak dapat dilihat
dari segi kemampuan guru mendisain soal tersebut. Penentuan indeks kesukaran
ditentukan oleh rumus sebagai berikut:
Dengan:
DI = Indeks kesukaran butir soal
HG = Jumlah skor siswa kelompok
atas
LG = Jumlah skor siswa kelompok
Bawah
N = Jumlah pesert a kelompok
atas dan kelompok bawah
Kriteria interpretasi tingkat kesukaran (Suherman, 1990)
DI ≤ 27% , soal
sukar
27%
< DI ≤ 73% , soal sedang
DI
> 73% , soal mudah
c. Reliabilitas butir soal
Reliabilitas
instrumen tes dihitung untuk mengetahui ketetapan hasil tes. Untuk menghitung
reliabilitas perangkat tes ini digunakan rumus yang sesuai dengan bentuk tes
uraian (essay), yaitu rumus alpha sebagai berikut:
r11 =
dengan :
r11: koefisien
reliabilitas perangkat tes
n: banyaknya item tes
: jumlah varians skor setiap item tes
: varians
total (Arikunto, 1999)
Varians
total: =
Varians
masing-masing butir soal: =
Keterangan:
N = Banyaknya
sampel
=
Jumlah total butir skor
Menentukan
thitung dengan mensubsitusikan r11 ke rumus:
thitung
= (Sudjana,
1992:380)
Menentukan signifikansi koefisien
reliabilitas tes. Kriteria yang harus dipenuhi agar koefisien reliabilitas tes
termasuk signifikan adalah jika thitung > ttabel
dengan ttabel = t(1-α)(dk) untuk α adalah taraf
signifikansi dan dk = N-2
d. Validitas Butir Soal
Validitas
butir soal dihitung untuk mengetahui seberapa jauh hubungan antara jawaban skor
butir soal dengan skor total yang telah ditetapkan. Secara umum, suatu butir
soal dikatakan valid apabila memiliki dukungan yang besar terhadap skor total.
Skor pada suatu item menyebabkan skor total menjadi tinggi atau rendah. Dengan
kata lain sebuah item tes memiliki validitas tinggi jika skor pada item itu
mempunyai kesejajaran dengan skor total (Arikunto, 1999). Kesejajaran ini dapat
diartikan dengan korelasi, sehingga untuk mengetahui validitas item ini
digunakan rumus korelasi product moment
sebagai berikut:
rxy =
dengan :
x =
skor butir soal
y = skor total
rxy = koefisien
korelasi antara skor butir dengan skor total
N = banyaknya siswa yang
mengikuti tes (Arikunto, 1999).
4.
Populasi
dan Sampel Penelitian
a.
Populasi
Populasi penelitian adalah semua siswa kelas V SDN Pakintelan
2 tahun pelajaran 2012-2013 yang terbagi menjadi 3
kelas dengan karakteristik sama, yaitu kelas Va, Vb, dan Vc dengan jumlah siswa
tiap kelas adalah 25 siswa. Jadi semuanya ada 25 x 3 = 75 siswa
b.
Sampel
penelitian
Pada penelitian ini populasi terbagi menjadi dalam 3 kelas. Kemudian 3
kelas tersebut diambil 2 kelas secara acak dengan cara undian sehingga
diperoleh jumlah sampel sebanyak 50 siswa. Satu kelas sebagai kelompok control
dan satu kelas sebagai kelompok eksperimen yang ditentukan melalui pengundian.
c.
Teknik sampling
Teknik
sampling yang digunakan adalah simple
random sampling
5. Setting Penelitian
a.
Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan
di SDN Pakintelan 02 Kecamatan Gunugpati, Kota Semarang.
b.
Waktu
Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada semester I dalam materi
alat peredaran darah pada manusia tahun pelajaran 2012/2013. Penelitian
berlangsung pada tanggal 28 Agustus tahun 2012 minggu ke-5, yang mencakup tiga
tahapan kegiatan secara garis besar, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan
dan tahap penulisan laporan.
c.
Subjek
Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah guru dan siswa
kelas V SDN Pakintelan 02 Semarang. Di mana siswa kelas V tersebut dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang diberi perlakukan dan kelompok yang
tidak diberi perlakuan.
d.
Variabel Penelitian
1.
Aktivitas siswa
Sebelum menggunakan model kooperatif tipe Make A Match siswa kurang
terlibat aktif dalam mengikuti pembelajaran,
belum ada aktivitas kerja sama antar siswa atau kelompok dan pembelajaran
kurang menyenangkan.
2.
Guru
Sebelum menggunakan model kooperatif tipe Make A Match pembelajaran
yang terjadi cenderung bersifat monoton, satu arah, kurang komunikatif, menggunakan metode ceramah atau
bercerita serta belum memberikan reward dan punishmen pada siswa pada mata
pelajaran IPA.
3.
Hasil Belajar
Sebelum
pelaksanaan penelitian dengan menggunakan model
kooperatif tipe Make A Match, rata-rata hasil
belajar IPA semester I kelas V SDN
Pakintelan 02 pada kelompok yang tidak diberi perlakuan mencapai Kriteria ketuntasan Minimal ( KKM ) yaitu < 65. Kondisi
tersebut menjadikan indikator pada penelitian ini bahwa kemampuan belajar IPA
siswa kelas V SD Negeri Pakintelan
02 adalah rendah.
Berdasarkan
kajian awal tersebut, maka perlu suatu pendekatan pembelajaran yang mampu
meningkatkan situasi kelas yang menyenangkan, siswa terlibat aktif dalam
belajar, meningkatkan kerja sama antar siswa, terjadinya komunikasi dua arah,
serta memotivasi siswa dengan memberikan reward. Pembelajaran yang dimaksud
adalah pembelajaran dengan model Kooperatif tipe make a Match pada kelompok
yang mendapat perlakuan.
6.
Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan
data adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpukan data
penelitiannya. Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas dalam
mengumpukan data. Instrumen penelitian membantu pekerjaan peneliti menjadi
lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan
sistematis sehingga lebih mudah diolah. Pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan 4 jenis metode yaitu tes, wawancara, observasi dan dokumentasi.
a. Interview/wawancara
Wawancara
digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan
studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga
apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal drai responden yang lebih mendalam
dan jumlah respondennya sedikit/kecil.
b. Dokumentasi
Metode
dokumentasi merupakan suatu cara memperoleh data mengenai hal-hal tertentu
terutama peninggalan tertulis, arsip-arsip dan sebagaimana yang berkaitan
dengan subyek yang diteliti. Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang
gambaran umum secara terperinci dan metode dokumentasi ini digunakan untuk
mencari data yang berkaitan dengan siswa yang menjadi subyek dalam penelitian
dini, apabila ada kekeliruan dengan data yang sudah diperoleh.
c. Tes
Teknik tes
dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data tentang hasil belajar IPA,
setelah dilaksanakan tindakan. Instrumen tes disusun dan diujicobakan pada
siswa di luar objek penelitian, dan dianalisis untuk mengetahui validitas,
derajat kesukaran, daya beda, dan reliabilitas, sehingga instrumen soal yang
digunakan untuk evaluasi di akhir siklus adalah hanya butir soal yang baik.
Soal tes
diujicobakan di luar sampel penelitian dengan maksud untuk tetap menjaga agar
hasil ujicoba benar-benar valid, sehingga ketika digunakan pada saat tes
setelah pelaksanaan tindakan dihasilkan data yang benar-benar sesuai dengan
pelaksanaan pembelajaran, karena apabila uji coba dilaksanakan pada subjek penelitian,
dikhawatirkan mempengaruhi hasil penelitian.
6.
Tahap
Pelaksanaan Eksperimen
a.
Prosedur
Pelaksanaan Penelitian
Berdasarkan rancangan
penelitian di atas, penelitian ini mencakup tiga tahapan. Ketiga tahapan ini
mencakup tahap persiapan, tahap pelaksanaan, eksperimen tahap analisa dan
penulisan laporan, sebagai berikut:
b.
Tahap Persiapan
Tahap
persiapan yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan untuk menyusun perangkat
pembelajaran dan instrumen penelitian, variabel serta revisi para ahli terhadap
perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian. Termasuk survey ke SDN Pakintelan 02 sekaligus
melakukan kolaborasi antara peneliti yang melakukan eksperimen dengan pengamat
agar memiliki persmaan pandangan dalam melakukan pengamatan terhadap proses
pembelajaran.
c.
Tahap
Pelaksanaan Eksperimen
Pada tahap ini dilakukan
tes awal, penyajian pembelajaran berbasis masalah pengumpulan data, dan tes
akhir. Tes awal bertujuan untuk mengetahui keadaan awal siswa tentang materi
fungsi dan fungsi kuadrat. Juga dilakukan pengamatan terhadap aktivitas siswa,
pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran dan pola jawaban siswa dalam
mengerjakan tes yang diberikan.
d. Tahap Analisis Data dan
Penulisan Laporan
Data yang diperoleh dari hasil
eksperimen kemudian dianalisis dengan membandingkan hasil antara kelompok
kontrol dengan kelompok eksperimen, menguji mana yang lebih baik serta menarik
kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian. Kemudian semua hasil penelitian
ditulis untuk membuat laporan.
7. Teknik Analisis Data
Berkaitan
dengan pertanyaan penelitian, aktivitas siswa dan guru, kemampuan guru
mengelola pembelajaran dan respon siswa dianalisis dengan analisis statistik
deskriptif. Data tentang hasil belajar dianalisis dengan statistik inferensial.
a. Analisis Statistik Deskriptif
Agung
(1992) menyatakan bahwa statistik deskriptif dapat berbentuk tabel frekuensi,
tabel silang, dan beberapa statistik dasar seperti rata-rata, median, modus, dan
varians. Analisis statistik deskriptif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
menjawab pertanyaan penelitian dengan menggunakan tabel frekuensi, rata-rata,
varians, dan persentase. Data yang menggunakan analisis statistik deskriptif
adalah:
b. Data Aktivitas Siswa Dalam Pembelajaran
Data hasil pengamatan aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran
dianalisis dengan menggunakan persentase. Persentase pengamatan aktivitas
siswa yaitu frekuensi rata-rata setiap
aspek pengamatan dibagi dengan banyaknya frekuensi rata-rata semua aspek
pengamatan dikali 100% dengan batas toleransi 5%.
c. Data Pola Jawaban Siswa
Untuk melihat pola jawaban siswa dalam
menyelesaikan masalah-masalh yang diberikan.
d.
Menguji
Normalitas
Menguji normalitas data menggunakan
rumus khi-kuadrat (chi-square) dari Ruseffendi (1998:294)
Dengan
: = khi-kuadrat
fo = frekuensi dari yang diamati
fe =
frekuensi yang diharapkan
Langkah berikutnya adalah membandingkan 2hitung
dengan 2tabel
dengan
derajat kebebasan (dk) = J-3. Dalam hal ini J menyatakan banyaknya kelas
interval. Jika 2hitung
< 2tabel
, maka dapat
dikatakan bahwa data tersebut berdistribusi normal.
e.
Menguji
Homogenitas
Uji ini
digunakan untuk menentukan apakah sampel yang diperoleh berasal dari populasi
dengan varians yang sama. Tes yang digunakan untuk menghitung
homogenitas mengunakan
rumus dari Ruseffendi (1998:295)
Hipotesis yang akan di uji adalah:
H0 : s12 = s22
HA : s12 ≠ s22
F =
Dengan:
= variansi terbesar
= variansi terkecil
Kriteria pengujiannya adalah tolak H0
jika dan terima H0
untuk kondisi lainnya. Dengan dk pembilang = (n1-1) dan dk penyebut
= (n2-1) pada taraf
signifikansi α = 0,05
Selanjutnya
uji statistik sesuai dengan hipotesis yang
diajukan dilakukan berikut:
Peningkatan kemampuan pemahaman konsep IPA siswa yang diajar
dengan model pembelajaran Make A
Match lebih baik dari siswa yang diajar dengan Pembelajaran
Ceramah
Skor
diperoleh dari hasil tes siswa sebelum dan setelah belajar dengan pembelajaran Make A
Match
dianalisa dengan cara membandingkan dengan skor siswa yang diperoleh dari hasil
tes siswa sebelum dan setelah belajar dengan Pembelajaran Ceramah.
Besarnya peningkatan sebelum dan sesudah pembelajaran secara keseluruhan
dihitung dengan rumus gain ternormalisasi (normalized gain), yang
dikembangkan oleh Hake dalam Siregar (2009) sebagai berikut:
Selanjutnya
digunakan uji t untuk melihat apakah peningkatan kemampuan pemahaman konsep
siswa yang ada di kelompok eksperimen lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
ada di kelompok kontrol. Dimana
hipotesis yang akan diuji adalah:
H0
: μ1 = μ2 : Peningkatan kemampuan pemahaman konsep IPA siswa yang diajar dengan model pembelajaran Make
A Match tidak lebih baik
dari Pembelajaran Ceramah.
Ha
: μ1 > μ2 :
Peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang diajar dengan model
pembelajaran Make A Match lebih baik dari Pembelajaran Ceramah.
-
Jika data yang diperoleh berdistribusi normal dan homogen maka digunakan
uji t dengan rumus:
(Sudjana, 2001)
Dengan:
= nilai rata-rata siswa kelompok eksperimen
=
nilai rata-rata siswa kelompok kontrol
n1 = banyaknya siswa kelompok
eksperimen
n2 = banyaknya siswa kelompok
kontrol
= varians kelompok eksperimen
=
varians kelompok kontrol
Sgab= simpangan gabungan
-
Jika data yang diperoleh berdistribusi normal tetapi tidak homogen maka
digunakan uji (Sudjana, 2001) dengan rumus:
Kriteria pengujiannya adalah tolak H0
jika dan terima H0
untuk kondisi lainnya dengan taraf signifikansi yang telah ditentukan
-
Jika data yang diperoleh tidak berdistribusi normal dan tidak homogen, maka
digunakan uji statistik non parametrik yaitu uji Mann-Whitney.
Kriteria pengujiannya adalah tolak H0
jika dan terima H0
untuk kondisi lainnya dengan taraf signifikansi yang telah ditentukan
-
Jika datanya tidak berdistribusi normal tetapi homogen maka uji yang
dilakukan adalah uji Wilcoxon (Russefendi, 1998).
Setelah
dilakukan sebuah pengumpulan data dengan 4 metode dapat peneliti analisis bahwa
keefektifan pada pembelajaran IPA Kelas V Semester 1 di SD Negeri Pakintelan 2
dengan materi Alat Peredaran Darah
dikarenakan penerapan model pembelajaran kooperatif salah satunya Make A Match. Kebiasan guru bertindak
sebagai pemberi informasi mengembangkan budaya belajar yang menerima dengan
pengembangan berpikir pada tingkat hafalan. Peserta didik masih kuat
kedudukannya sebagai murid yang memusatkan perhatiannya pada bahan yang
disajikan guru. Materi yang disampaikan oleh guru belum mengacu pada
pembelajaran yang inovatif, selain itu guru kurang komunikatif ketika dalam
mengajar untuk meningkatkan keaktifan siswa, lingkungan belajar kurang kondusif
dan kurang tertata rapi, serta kurang pemberian motivasi pada anak. Motivasi
bisa diberikan melalui hal-hal kecil misalnya saja pemberian reward
atau punishman dari guru yang
mengajar. Hal tersebut mengakibatkan respon siswa masih rendah, tidak aktif,
kreatif, dan berpikir kritis, dengan kata lain motivasi belajar siswa dalam
pembelajaran IPA rendah.
Berdasarkan
uraian tersebut maka model kooperatif tipe Make A Match tepat untuk digunakan
sebagai alternatif model pembelajarn IPA. Dalam model tersebut siswa akan belajar
bekerja sama secara kelompok dan merupakan suatu model pembelajaran melalui permainan
untuk
mencari pasangan kartu, sehingga suasana didalam kelas akan sedikit riuh
tetapi, model tersebut akan sangat menyenangkan. Di dalam kelas akan tercipta suasana
pembelajaran yang efektif sehingga siswa dapat berperan aktif dalam proses
pembelajaran karena siswa tidak lagi memusatkan perhatiannya pada bahan yang
disajikan guru tetapi, mereka dapat bekerja secara kooperatif. Dalam sintak
model Make A Match diatas dijelaskan bahwa, setiap peserta didik yang dapat
mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi point. Dalam
hal ini reward sangat penting diberikan agar memotivasi siswa sehingga
mereka terpacu untuk menjadi yang terbaik. Maka, model tersebut sangat tepat
digunakan karena dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran IPA materi alat
peredaran darah manusia.
F.
DAFTAR
PUSTAKA
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. Bandung : ALFABETA cv
Trianto.
2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Surabaya : Prestasi Pustaka
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=uji
coba instrumen penelitian
eksperimen&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCcQFjAA&url=http%3A%2F%2Fblog.
TUGAS
KELOMPOK
PROPOSAL PENELITIAN EKSPERIMEN
disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Penelitian Pendidikan SD 1
Dosen Pengampu: Ibu
Florentina Widhihastrini
Rombel 07
Oleh:
1. Fitria
Mustika Dewi 1401410077
/ 08
2. Tyas
Utami 1401410079
/ 09
3. Anisa
Larasati 1401410231
/ 22
4. Rizki
Mugi Lestari 1401410266
/ 26
5. Francisca
Putri Rahmawati 1401410384 /
36
6. Desy
Riana Palupi 1401410408
/ 40
PENDIDIKAN
GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2012
I.
IDENTIFIKASI
MASALAH PENELITIAN
Berdasarkan
hasil pengamatan dan wawancara dengan guru tentang pembelajaran IPA materi
sistem peredaran darah di kelas V Semester 1 SDN Pakintelan 02 Semarang,
diperoleh beberapa masalah sebagai berikut :
Ø Aktivitas
siswa dalam pembelajaran IPA tentang Alat Peredaran Darah Manusia masih rendah,
kebanyakan siswa masih gaduh dan belum siap menghadapi pembelajaran
Ø Aktivitas
guru dalam pengelolaan pembelajaran IPA materi Alat Peredaran Darah Manusia
kurang baik, guru hanya menggunakan metode pembelajaran ceramah dan belum
menggunakan alat peraga dalam pembelajaran.
Ø Hasil
belajar siswa dalam pembelajaran IPA materi Alat Peredaran Darah Manusia
rendah, banyak siswa mendapat nilai di bawah KKM 70 dan rata-rata kelas hanya
mencapai nilai 60.
II.
PEMBATASAN
MASALAH
Masalah
yang mendominasi dalam pembelajaran IPA di SDN Pakintelan 02 Semarang adalah :
Ø Lemahnya
pemahaman konsep pada siswa karena guru
masih menggunakan metode pembelajaran ceramah dan jarang menggunakan
alat peraga sehingga siswa kurang tertarik untuk aktif dalam kegiatan
pembelajaran. Maka
guru ingin membandingkan metode pembelajaran yang dilakukan selama ini dengan
Pembelajaran Kooperatif tipe Make A Match.
A.
JUDUL
PENELITIAN
“
Keefektifan Model Kooperatif Tipe Make A
Match dalam Pembelajaran IPA Materi Alat Peredaran Darah Manusia Kelas V SDN
Pakintelan 02 Semarang “
B.
RUANG
LINGKUP PENELITIAN
Model
pembelajaran Kooperatif tipe Make A Match
pada pembelajaran IPA materi Alat Peredaran Darah Manusia.
C.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (UU RI No. 20 Tahun 2003).
Peraturan Pemerintah RI
Nomor 19 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa: “Proses
pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa ,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik”. Upaya pemerintah tersebut harus ditindak
lanjuti sehingga mutu pendidikan menjadi kenyataan yang akan berdampak terhadap
pembangunan Indonesia di masa mendatang. Pembelajaran IPA (Sains) di sekolah
selalu mengacu pada kurikulum IPA. Di dalam kurikulum telah ditegaskan bahwa
pembelajaran IPA harus menekankan pada penguasaan kompetensi melalui serangkaian
proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Proses pembelajaran
yang tercantum pada peraturan pemerintah di atas sudah baik, karena sudah
mengandung gagasan upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun kenyataan
dilapangan belum sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah yang telah
ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.
Hasil kajian penelitian
menunjukkan bahwa pembelajaran IPA di Sekolah masih banyak dilakukan secara
konvensional (pembelajaran berpusat pada guru) dan prestasi belajar IPA masih
sangat rendah bila dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya (Sardjono, 2000).
Permasalahan
pembelajaran IPA tersebut juga ditemui pada siswa kelas V SD N Pakintelan 02
Semarang. Peran
peserta didik tampak belum secara optimal diperlakukan sebagai subyek didik
yang memiliki potensi untuk berkembang secara mandiri. Posisi peserta didik
masih dalam situasi dan kondisi belajar yang menempatkan siswa dalam keadan
pasif, aktivitas belajar mengajar masih didominasi guru dalam menyampaikan
informasi yang secara garis besar bahan-bahannya telah tertulis dalam buku
paket. Guru jarang menggunakan alat peraga atau media
pelajaran IPA sekalipun di sekolah tersedia beberapa alat peraga IPA serta guru
tidak terbiasa untuk melibatkan siswa dalam melakukan kegiatan percobaan.
Guru kurang memberikan rangsangan berupa pertanyaan pada siswa sebelum
penyampaian materi, kurang melatih siswa dalam kegiatan kerja sama dengan
kelompok dan kurang memberikan reward
pada siswa. Dalam membahas materi IPA tidak terlihat
adanya upaya guru untuk menciptakan suasana pembelajaran
yang menyenangka. Pengajaran IPA yang diterapkan guru cenderung lebih
mengarahkan agar siswa terampil mengerjakan soal-soal tes, akibatnya pemahaman
konsep siswa rendah, keterampilan proses dan sikap ilmiah siswa tidak tumbuh.
Hal tersebut di atas juga didukung dengan hasil
pencapaian nilai mata pelajaran IPA kelas V di SD N Pakintelan 02 Semarang yang
masih kurang. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan
belajar (KBM) yang ditentukan oleh satuan pendidikan. KKM pada akhir jenjang satuan
pendidikan untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahaun dan teknologi
merupakan nilai batas ambang kompetensi (Permendiknas No. 20 Tahun 2007 1-2).
Kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan SD N Pakintelan 02 Semarang
pada mata pelajaran IPA adalah 65. Hasil ulangan IPA kelas V di SD N Pakintelan
02 Semarang menunjukkan hasil yang belum memuaskan
walaupun nilai tertinggi mencapai 100, nilai
terendah 40 , dan
nilai rata-rata siswa 60
dari 27 siswa. Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa kelas V di SD N Pakintelan
02 Semarang belum semuanya mencapai ketuntasan KKM yang telah ditetapkan pihak
sekolah.
Pembelajaran IPA yang diharapkan adalah yang dapat
mengembangkan keterampilan proses, pemahaman konsep, aplikasi konsep, sikap
ilmiah siswa, serta mendasarkan kegiatan IPA pada isu-isu yang berkembang di
masyarakat (Horsley, et al, 1990:40-42). Kenyataan Pembelajaran IPA yang ada di SD N Pakintelan 02 Semarang belum menggunakan
media, strategi dan model
pembelajaran yang inovatif. Guru
menggunakan media gambar tetapi belum digunakan secara maksimal serta
menggunakan buku paket dan LKS yang sama dengan siswa sebagai sumber belajar
sehingga pengembangan dalam pembelajaran IPA masih kurang.
Hal tersebut mengakibatkan proses pembelajaran tidak menarik dan membosankan. Siswa kurang terlibat dalam
proses belajar sehingga kegiatan pembelajaran belum berjalan optimal karena guru hanya
mengutamakan penilaian pada ranah kognitif. Seharusnya penilaian
individu mencakup tiga ranah yaitu, kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dengan
menggunakan model-model pembelajaran yang inovatif diharapkan setiap pembelajaran
IPA akan lebih menyenangkan. Guru bisa membagi siswa dalam kelompok-kelompok
kecil atau menggunakan permainan sehingga siswa bisa ikut berperan aktif dalam proses
pembelajaran dan siswa tidak merasa
bosan. Dengan bekerja secara kelompok diharapkan siswa
dapat belajar bekerjasama dengan
orang lain, saling bertukar pikiran dan belajar sambil bermain. Sehingga didalam suatu kelas semua siswa dapat merasa senang dan tertarik dalam setiap
pembelajaran IPA karena guru selalu menggunakan model-model yang inovatif.
Untuk mengatasi permasalahan yang terjadi, diperlukan
upaya untuk memperbaiki kualitas pembelajaran agar dapat meningkatkan keaktifan
dan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran agar
dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa. Salah satu
alternatif model pembelajaran IPA yang diterapkan untuk meningkatkan
partisipasi siswa dalam pembelajaran pembelajaran IPA di sekolah dasar adalah
model pembelajaran kooperatif tipe Make A
Match. Model tersebut dirancang untuk mendorong siswa berpartisipasi dalam
pembelajaran IPA. Hal tersebut berarti, prinsip pembelajaran IPA adalah proses
aktif.
Artazt dan Newman ( 1990:448 ) dalam Trianto ( 2009:56 )
menyatakan bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu
tim untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
Jadi, dengan menggunakan model ini siswa dapat belajar bekerjasama dalam suatu
kelompok. Make A Match merupakan
salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif. Lorry Curran ( 1994 ) menyatakan bahwa Metode
make a match adalah metode pembelajaran aktif untuk mendalami atau melatih
materi yang telah dipelajari. Dengan
model pembelajarn kooperatif tipe Make A
Match kegiatan pembelajaran akan sedikit riuh, tetapi kegiatan tersebut
akan sangat menyenangkan dan tidak membosankan. Penerapan
metode ini dimulai dari teknik yaitu siswa disuruh mencari pasangan kartu yang
merupakan jawaban/soal sebelum batas waktunya, siswa yang dapat mencocokkan
kartunya diberi poin sehingga siswa
akan lebih tertantang dan suasana dikelas akan lebih menyenangkan karena guru
memberikan reward pada siswa yang
dapat menemukan pasangannnya dengan cepat.
Adapun
manfaat dalam penelitian ini adalah suasana kegembiraan akan tumbuh dalam
proses pembelajaran, membutuhkan ketelitian dalam menentukan pasangan jawaban, kerja sama
antar sesama siswa terwujud dengan dinamis, dan munculnya dinamika gotong
royong yang merata diseluruh siswa. Model pembelajaran Make A Match ini mampu memberikan rasa senang, bergairah, bersemangat dalam mengerjakan
tugas, sehingga dapat mengaktifkan siswa pada materi alat peredaran darah pada manusia di kelas V SDN Pakintelan 02 Semarang. Keaktifan siswa dalam
pembelajaran ini akhirnya berdampak pada keberhasilan belajar siswa tentang
materi tersebut.
Berdasarkan penelitian
yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Momoy Dandelion dengan judul penelitian Peningkatan Kualitas Pembelajaran
IPA Siswa Kelas V SDN Sukorejo 01 Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match menunjukkan hasil bahwa
kegiatan pembelajaran yang menggunakan model kooperatif tipe make a match dapat
meningkatkan
partisipasi dan keaktifan siswa dalam kelas sehingga nilai hasil belajar
menjadi lebih meningkat.
Berdasarkan analisis
tersebut peneliti membuat gagasan untuk memecahkan masalah dalam pembelajaran IPA yang ada di SDN
Pakintelan 02 Semarang. Peneliti
menggunakan model pembelajaran Make A Match sebagai alternatif pemecahan
masalah dengan judul “ Keefektifan Model Kooperatif Tipe
Make A Match dalam Pembelajaran IPA
Materi Alat Peredaran Darah Manusia Kelas V SDN
Pakintelan 02 Semarang”. Dengan penggunaan
model pembelajaran kooperatif tipe Make A
Match diharapakan siswa lebih aktif dan berpartisipas mengikuti proses
pembelajaran IPA dikelas sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
2.
Perumusan
Masalah
Apakah
pembelajaran IPA dengan menggunakan
model
pembelajaran Kooperatif tipe Make A Match
lebih efektif daripada pembelajaran IPA dengan menggunakan metode ceramah
materi Peredaran Darah Manusia di Kelas V semester 1 SDN Pakintelan 02
Semarang?
3.
Tujuan
Untuk mengetahui apakah pembelajaran
IPA dengan menggunakan model
pembelajaran Kooperatif tipe Make A Match
lebih efektif daripada pembelajaran IPA dengan menggunakan metode ceramah
materi Peredaran Darah Manusia di Kelas V semester 1 SDN Pakintelan 02
Semarang.
4.
Manfaat
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan referensi atau pendukung penelitan
selanjutnya.
b. Menambah kajian tentang hasil penelitian pembelajaran
IPA.
c. Mengembangkan praktik pembelajaran pada mata pelajaran
IPA
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru
1) Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi guru
tentang model Make A Match .
2) Dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan guru
dalam mengajar.
3) Dapat meningkatkan profesionalisme dalam proses
pembelajaran yang kreatif, inovatif, dan menyenangkan.
b. Bagi Siswa
1) Dengan menggunakan model
Make A Match siswa dapat lebih termotivasi untuk belajar IPA.
2) Dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran.
3) Dapat meningkatkan pemahaman siswa dan menggali
potensi-potensi siswa dalam pembelajaran IPA
c. Bagi Sekolah
1) Sebagai tolok ukur pengambilan kebijakan dalam rangka
perbaikan proses pembelajaran yang dilaksanakan guru sehingga tujuan
penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat dicapai secara optimal
d. Bagi Peneliti
1) Dapat dijadikan sebagai landasan untuk menulis
penelitian selanjutnya
D.
KAJIAN
PUSTAKA
1.
Kajian
Teori
A. Belajar
Menurut
William Brownele (dalam Karso, 1999: 1.22) pada hakekatnya belajar merupakan
suatu proses yang bermakna, dan belajar matematika harus merupakan belajar
bermakna dan pengertian. Hal ini sejalan dengan pendapat L. Thorndike
(1874-1949) bahwa belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu
stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan atau dengan kata lain
belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respon.
Sedangkan Gagne (1977 ; 3) dalam (Trianni,
2004 ; 2) menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan disposisi atau kecakapan
manusia, yang berlangsung selama periode waktu tertentu, dan perubahan perilaku
itu tidak berasal dari proses pertumbuhan.
B. Pembelajaran
Pembelajaran
adalah membentuk kreasi lingkungan yang dapat membentuk atau mengubah struktur
kognitif siswa (Wina Sanjaya : 2005). Pembelajaran adalah proses interaksi
peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar
(UU RI No. 20 : 2003, Bab 1 Pasal 1 ayat 20).
Pembelajaran
merupakan jalan yang harus ditempuh oleh seorang pelajar untuk mengerti suatu
hal yang sebelumnya tidak diketahui. Seseorang yang melakukan belajar dapat
disebut telah mengerti sesuatu hal bila ia juga dapat menerapkan apa yang telah
ia pelajari. Keberhasilan belajar akan terjamin apabila ia dapat mengajak para
siswanya mengerti suatu masalah melalui tahap proses belajar, karena dengan itu
siswa akan memahami hal yang diajarkan.
1.
Prinsip-prinsip
Pembelajaran
Prinsip
yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kegiatan pembelajaran menurut Wina
Sanjaya (2005 : 30-32) adalah sebagai berikut :
a. Berpusat
pada siswa
Dalam
proses pembelajaran siswa menempati posisi sentral sebagai subyek belajar.
b. Belajar
dengan melakukan
Belajar
bukan hanya sekedar mendengarkan, mencatat sambil duduk di bangku, akan tetapi
belajar adalah proses beraktifitas dan berbuat (Learning BY Doing).
c. Mengembangkan
kemampuan sosial
Proses
pembelajaran bukan hanya mengembangkan kemampuan intelektual akan tetapi juga
kemampuan sosial. Proses pembelajaran harus dapat mengembangkan dua sisi ini
secara seimbang.
d. Mengembangkan
Keingintahuan, Imajinasi dan Fitrah
Proses
pembelajaran harus mampu melatih kepekaan dan keingintahuan setiap individu
terhadap segala sesuatu yang terjadi.
e. Mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah
Pembelajaran
adalah proses berfikir untuk memecahkan masalah. Oleh sebab itu pengetahuan
yang diperoleh mestinya dapat dijadikan sebgai alat untuk mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah.
2. Faktor-faktor
Pembelajaran
Faktor-faktor yang
harus diperhatikan dalam proses pembelajaran agar berlangsung efektif menurut
Wina Sanjaya (2005 : 32-33) yaitu sebagai berikut :
a. Proses
pembelajaran harus memberikan peluang kepada siswa agar mereka secara langsung
dapat berpartisipasi dalam proses pembelajaran
b. Guru
perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk merefleksi apa yang telah
dilakukannya
c. Proses
pembelajaran harus mempertimbangkan perbedaan individual
d. Proses
pembelajaran harus dapat memupuk kemandirian disamping kerjasama.
Jadi
dengan penerapan model pembelajaran tipe Make
A Match diharapkan dapat tercipta pembelajaran yang berdasarkan pada PAIKEM
dengan memperhatikan prinsip-prinsip dan faktor-faktor dalam pembelajaran.
C. Hakekat Hasil belajar
Menurut
Nana Sudjana hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan
menggunakan alat pengukuran yaitu berupa tes yang disusun secara terencana,
baik tes tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan. Sedangkan S. Nasution
berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang
belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan tetapi juga membentuk kecakapan dan
penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar. Hasil belajar adalah
hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari mata
pelajaran yang berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Untuk melihat hasil
belajar dilakukan suatu penilaian terhadap siswa yang bertujuan untuk
mengetahui apakah siswa telah menguasai materi atau belum. Penilaian merupakan
upaya sistematis yang dikembangkan oleh suatu institusi pendidikan yang
ditujukan untuk menjamin tercapainya kualitas proses pendidikan serta kualitas
kemampuan peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan (Cullen,
2003 dalam Fathul Himam, 2004).
Menurut Dimyati
dan Mudjiono,
hasil belajar
merupakan hal
yang dapat
dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan sisi guru. Dari sisi
siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila
dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut
terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Sedangkan
dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran.
Menurut Oemar Hamalik hasil belajar adalah
bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang
tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak
mengerti menjadi mengerti, dan dari tidak bisa menjadi bisa.
Berdasarkan teori Taksonomi Bloom hasil
belajar dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori ranah antara lain
kognitif,
afektif dan
psikomotor.
Uraian dari masing-masing ranah
tersebut adalah:
a. Ranah kognitif.
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil
belajar intelektual yang terdiri
dari enam aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis,
sintesis, dan penilaian.
b. Ranah Afektif
Ranah afektif
berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang
kemampuan yaitu menerima, menjawab atau
reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai.
c. Ranah Psikomotor
Ranah
psikomotor meliputi ketrampilan motorik, manipulasi benda-benda, koordinasi
neuromuscular (menghubungkan, mengamati). Tipe hasil belajar kognitif lebih menonjol,
namun hasil belajar afektif dan psikomotor juga harus menjadi bagian dari hasil
penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah.
Hasil belajar
adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman
belajarnya. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau
kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat dicapai apabila
siswa sudah memahami belajar dengan diiringi oleh perubahan tingkah laku yang
lebih baik lagi.
Howard Kingsley
membagi 3 macam hasil belajar yaitu ketrampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan
pengertian, serta sikap dan cita-cita. Pendapat ini menunjukkan hasil perubahan
dari semua proses belajar. Hasil belajar ini akan melekat terus pada diri
siswa karena sudah menjadi bagian dalam
kehidupan siswa tersebut.
Berdasarkan
pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu
penilaian akhir dari proses dan pengenalan yang telah dilakukan berulang-ulang.
Hasil belajar akan tersimpan lama atau bahkan tidak akan hilang selama-lamanya
karena hasil belajar turut serta dalam membentuk pribadi individu yang selalu
ingin mencapai hasil yang lebih baik lagi, sehingga akan merubah cara berpikir
serta menghasilkan perilaku kerja yang lebih baik. Dengan penggunaan model Make A Match
diharapkan kualitas dan aktivitas pembelajaran akan meningkat sehingga hasil
belajar siswa dapat meningkat dan hasil belajar akan
tersimpan lama
karena penggunaan model tersebut menyenangkan.
D. Teori Aktivitas Siswa
Keaktifan adalah kegiatan yang dilakukan
siswa dalam proses pembelajaran untuk mencapai hasil belajar (Anni, 2004 : 52). Keaktifan
adalah keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, hingga proses evaluasinya (Mutohir dkk, 1996 : 4).
Menurut Ardhana (2009) keaktifan siswa dapat dilihat dari
:
a. Perhatian siswa
terhadap penjelasan guru.
b. Kerjasama dalam kelompok.
c. Kemampuan siswa mengemukakan pendapat dalam kelompok ahli.
d. Kemampuan siswa mengemukakan pendapat dalam kelompok asal.
e. Memberi kesempatan berpendapat pada teman dalam kelompok
f. Mendengarkan dengan baik ketika teman berpendapat.
g. Memberi gagasan yang cemerlang.
h. Membuat perencanaan dan pembagian tugas yang matang.
i. Keputusan berdasarkan pertimbangan kelompok lain.
j. Memanfaatkan potensi anggota kelompok.
k. Saling membantu dan menyelesaikan masalah.
b. Kerjasama dalam kelompok.
c. Kemampuan siswa mengemukakan pendapat dalam kelompok ahli.
d. Kemampuan siswa mengemukakan pendapat dalam kelompok asal.
e. Memberi kesempatan berpendapat pada teman dalam kelompok
f. Mendengarkan dengan baik ketika teman berpendapat.
g. Memberi gagasan yang cemerlang.
h. Membuat perencanaan dan pembagian tugas yang matang.
i. Keputusan berdasarkan pertimbangan kelompok lain.
j. Memanfaatkan potensi anggota kelompok.
k. Saling membantu dan menyelesaikan masalah.
Dari pernyataan di atas, maka penulis
menyimpulkan bahwa pengertian keaktifan secara umum adalah kegiatan yang
dilakukan siswa dalam proses pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
hingga proses evaluasinya untuk mencapai hasil belajar. Sedangkan keaktifan
siswa dapat dilihat dari peran aktif siswa secara individu maupun dalam
kelompok pada proses pembelajaran. Sehingga penggunaan model Make A Match pada pembelajaran IPA dapat
meningkatkan keaktifan siswa karena model ini menuntut siswa untuk bekarja sama
dengan temannya sehingga tercipta suasana pembelajaran yang menyenangkan.
1. Hakikat
Aktivitas Siswa
Aktivitas siswa adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran,
perhatian dan aktivitas dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan
proses belajar mengajar dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut.
Peningkatan aktivitas siswa yaitu meningkatnya jumlah siswa yang terlibat aktif
belajar, meningkatnya jumlah siswa yang bertanya dan menjawab, meningkatnya
jumlah siswa yang saling berinteraksi membahas materi pembelajaran. Metode
belajar mengajar yang bersifat partisipatoris yang dilakukan guru akan mampu
membawa siswa dalam situasi yang lebih kondusif, karena siswa lebih berperan
dan lebih terbuka serta sensitif dalam kegiatan belajar mengajar.
Indikator aktivitas siswa dapat dilihat dari : pertama, mayoritas siswa beraktivitas dalam pembelajaran; kedua, aktivitas pembelajaran didominasi oleh kegiatan siswa; ketiga, mayoritas siswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru dalam LKS melalui pendekatan pembelajaran berdasarkam masalah ( Problem Based Learning)
Indikator aktivitas siswa dapat dilihat dari : pertama, mayoritas siswa beraktivitas dalam pembelajaran; kedua, aktivitas pembelajaran didominasi oleh kegiatan siswa; ketiga, mayoritas siswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan guru dalam LKS melalui pendekatan pembelajaran berdasarkam masalah ( Problem Based Learning)
2. Minat
Belajar Siswa
Secara
bahasa minat berarti ”kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu” minat
merupakan sifat yang relatif menetap pada diri seseorang. Minat besar sekali
pengaruhnya terhadap kegiatan seseorang sebab dengan minat ia akan melakukan
sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya tanpa minat seseorang tidak mungkin
melakukan sesuatu. Sardiman
A.M berpendapat minat diartikan sebagai suatu kondisi yang terjadi apabila
seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan
keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri.
Minat
adalah keinginan yang tumbuh karena adanya dorongan dari luar atau dari dalam
diri seseorang (Anni, 2004 : 56). Minat
adalah keinginan yang tumbuh karena adanya dorongan dari dalam diri seseorang
yang dapat menimbulkan aktifitas belajar dalam mencapai tujuan (Mustofa, 2001 :
87).
Dari pernyataan-pernyataan tersebut
penulis setuju dengan poendapat dari
(Anni, 2004 : 56) bahwa pengertian minat yaitu keinginan yang tumbuh
karena adanya dorongan dari luar atau dari dalam diri seseorang yang dapat
menimbulkan aktifitas belajar dalam mencapai tujuan.
Jadi disini guru harus dapat memotivasi siswa agar mereka tertarik saat
mengikuti proses pembelajaran. Memberikan reward
dan punishman pada siswa
merupakan suatu hal kecil yang dapat memotivasi siswa maka, penggunaan model
Make A Match merupakan salah satu model yang dapat diterapkan sebab dalam
sintak model ini guru akan memberikan reward pada siswa yang berhasil menemukan
pasangannya dengan cepat.
E.
Kajian Materi Pembelajaran IPA
Untuk menanggapi kemajuan era
global dan semakin pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kurikulum sains
termasuk IPA terus disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara
nasional. Agar tidak tertinggal dan untuk terus menyelaraskan dengan
perkembangan jaman maka kita dituntut untuk terus memajukan ilmu pengetahuan
tersebut. Sehubungan dengan hal itu, sains memegang peran yang cukup signifikan
dalam peningkatan kualitas sumber daya teknologi karena di dalamnya dipelajari
berbagai sumber, asal, pemberdayaan serta pemanfaatan teknologi baik yang
berasal dari alam maupun rekayasa manusia.
1. Pengertian IPA
Ilmu Pengetahuan Alam adalah
istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu
dimana obyeknya
adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum,
berlaku kapan pun dimana pun. Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik &
nonmanusia tentang Bumi
dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan,
yang keduanya dibedakan dari ilmu sosial, humaniora, teologi,
dan seni.
2. Fungsi IPA di Sekolah
Dasar
Dalam kehidupan sehari-hari IPA
berfungsi sebagai media untuk menguasai konsep dan manfaat IPA serta memberikan
bekal pengetahuan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
3. Tujuan Pembelajaran
Adapun tujuan pembelajaran IPA di Sekolah Dasar adalah sebagai berikut:
a.
Untuk menekankan pemahaman tentang pengetahuan dan
konsep-konsep IPA yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Untuk membangun imaginasi dan rasa ingin tahu siswa
dan agar bisa bersikap positif menanggapi kemajuan sains dan teknologi.
c.
Untuk meningkatkan kompetensi siswa untuk menyelidiki
alam sekitarnya, memecahkan masalah dan membuat kesimpulan.
d.
Ikut serta dalam memelihara dan menjaga lingkungan
alam.
4. Ruang Lingkup
Di tingkat sekolah dasar (SD), Ruang
lingkup mata pelajaran IPA meliputi dua aspek diantaranya:
a.
Pemahaman konsep dan penerapannya dalam kehidupan.
b.
Penyelidikan atau penelitian, berkomunikasi ilmiah,
pengembangan kreatifitas, dan pemecahan masalah, sikap dan nilai ilmiah sebagai
kerja ilmiah.
c.
Pemahaman konsep dan penerapannya.
Berdasarkan pengertian tersebut maka untuk mencapai kesuksesan dalam
pembelajaran IPA , guru, siswa, alat peraga adalah faktor penting yang sangat
mendukung keberhasilan. Selain itu penggunaan strategi pembelajaran yang
relevan atau sesuai dengan materi pembelajaran juga merupakan faktor penunjang
untuk bisa memahami materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Oleh sebab itu digunakan model Make A Match sebab model tersebut
menekankan pada aktivitas siswa dalam bekerja sama dengan temannya sehingga
siswa dituntut untuk berperan aktif dalam pembelajaran. Jadi dengan penggunaan model
tersebut maka pembelajaran IPA dapat mencapai kesuksesan akibat peran dari
guru, siswa dan strategi pemeblajaran yang sesuai.
F. Media
Pembelajaran
Pengertian
media mengarah pada sesuatu yang mengantar/meneruskan informasi (pesan) antara
sumber (pemberi pesan) dan penerima pesan. Media adalah segala bentuk dan
saluran yang dapat digunakan dalam suatu proses penyajian informasi (AECT Task
Force,1977:162) ( dalam Latuheru,1988:11). Robert Heinich dkk (1985:6)
mengemukakan definisi medium sebagai sesuatu yang membawa informasi antara
sumber (source) dan penerima (receiver) informasi. Masih dari sudut pandang
yang sama, Kemp dan Dayton (1985:3), mengemukakan bahwa peran media dalam
proses komunikasi adalah sebagai alat pengirim (transfer) yang mentransmisikan
pesan dari pengirim (sander) kepada penerima pesan atau informasi (receiver).
Jerold Kemp (1986) dalam Pribadi (2004:1.4) mengemukakan beberapa faktor yang merupakan karakteristik dari media, antara lain:
Jerold Kemp (1986) dalam Pribadi (2004:1.4) mengemukakan beberapa faktor yang merupakan karakteristik dari media, antara lain:
a. Kemampuan dalam menyajikan gambar
(presentation).
b. Faktor ukuran (size); besar atau kecil.
c. Faktor warna (color): hitam putih atau berwarna.
d. Faktor gerak: diam atau bergerak.
e. Faktor bahasa: tertulis atau lisan.
f. Faktor keterkaitan antara gambar dan suara: gambar saja, suara saja, atau gabungan antara gambar dan suara.
b. Faktor ukuran (size); besar atau kecil.
c. Faktor warna (color): hitam putih atau berwarna.
d. Faktor gerak: diam atau bergerak.
e. Faktor bahasa: tertulis atau lisan.
f. Faktor keterkaitan antara gambar dan suara: gambar saja, suara saja, atau gabungan antara gambar dan suara.
Selain
itu, Jerold Kemp dan Diane K. Dayton (dalam Pribadi,2004:1.5) mengemukakan
klasifikasi jenis media sebagai berikut:
a. Media cetak.
b. Media yang dipamerkan (displayed media).
c. Overhead transparency.
d. Rekaman suara.
e. Slide suara dan film strip.
f. Presentasi multi gambar.
g. Video dan film.
h. Pembelajaran berbasis komputer (computer based learning)
a. Media cetak.
b. Media yang dipamerkan (displayed media).
c. Overhead transparency.
d. Rekaman suara.
e. Slide suara dan film strip.
f. Presentasi multi gambar.
g. Video dan film.
h. Pembelajaran berbasis komputer (computer based learning)
Istilah media disini dilihat dari segi
penggunaan, serta faedah dan fungsi khusus dalam kegiatan/proses belajar
mengajar, maka yang digunakan adalah media pembelajaran. Media pembelajaran
adalah semua alat bantu atau benda yang digunakan dalam kegiatan belajar
mengajar, dengan maksud untuk menyampaikan pesan (informasi) pembelajaran dari
sumber (guru maupun sumber lain) kepada penerima (dalam hal ini anak didik
ataupun warga belajar). Pesan (informasi) yang disampaikan melalui media, dalam
bentuk isi atau materi pengajaran itu harus dapat diterima oleh penerima pesan
(anak didik), dengan menggunakan salah satu ataupun gabungan beberapa alat
indera mereka. Bahkan lebih baik lagi bila seluruh alat indera yang dimiliki
mampu dapat menerima isi pesan yang disampaikan (Latuheru,1988:13).
Dari beberapa penjelasan media pembelajaran di atas penulis setuju dengan pendapat (Latuheru,1988:13), bahwa media pembelajaran adalah suatu alat, bahan ataupun berbagai macam komponen yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar untuk menyampaikan pesan dari pemberi pesan kepada penerima pesan untuk memudahkan penerima pesan menerima suatu konsep. Salah satu media yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPA adalah pasangan kartu materi ataupun jawaban yang dapat digunakan dengan model Make A Match.
Dari beberapa penjelasan media pembelajaran di atas penulis setuju dengan pendapat (Latuheru,1988:13), bahwa media pembelajaran adalah suatu alat, bahan ataupun berbagai macam komponen yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar untuk menyampaikan pesan dari pemberi pesan kepada penerima pesan untuk memudahkan penerima pesan menerima suatu konsep. Salah satu media yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPA adalah pasangan kartu materi ataupun jawaban yang dapat digunakan dengan model Make A Match.
G. Metode Mengajar
“Metode adalah cara yang teratur dan terpikir
baik-baik untuk mencapai suatu maksud tertentu, cara menyelidiki (mengajar dan
sebagainya)”. (W.J.S Poerwadarminta, 1986 : 646). Yang dimaksud dengan metode
mengajar menurut T. Raka Joni dalam bukunya “Strategi Belajar Belajar” adalah
sebagai berikut : Metode mengajar adalah cara, yang fungsinya merupakan alat
untuk mencapai tujuan. Dengan cara-cara yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan
pengajaran. (T. Raka Joni, 1980 : 783).
Model pembelajaran yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Make A Match.
1. Pengertian
Kooperatif
Adalah
pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa
untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan
belajar.
2. Konsep
Dasar Pembelajaran Kooperatif
Pada
dasarnya manusia mempunyai perbedaan, dengan perbedaan itu manusia saling asah,
asih, asuh (saling mencerdaskan). Dengan pembelajaran kooperatif diharapkan
saling menciptakan interaksi yang asah, asih, asuh sehingga tercipta masyarakat
belajar (learning community). Siswa tidak hanya terpaku belajar pada guru,
tetapi dengan sesama siswa juga.
Pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan
interaksi yang silih asuh untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman
yang dapat menimbulkan permusuhan, sebagai latihan hidup di masyarakat.
3. Ciri-ciri
Pembelajaran Kooperatif
Didalam
pembelajaran kooperatif terdapat elemen-elemen yang berkaitan. Menurut Lie ( 2004 ) :
a.
Saling ketergantungan
positif
Dalam pembelajaran kooperatif, guru
menciptakan suasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan atau
yang biasa disebut dengan saling ketergantungan positif yang dapat dicapai
melalui : saling ketergantungan mencapai tujuan, saling ketergantungan
menyelesaikan tugas, saling ketergantungan bahan atau sumber, saling
ketergantungan peran, saling ketergantungan hadiah.
b.
Interaksi tatap muka
Dengan hal ini dapat memaksa siswa
saling bertatap muka sehingga mereka akan berdialog. Dialog tidak hanya
dilakukan dengan guru tetapi dengan teman sebaya juga karena biasanya siswa
akan lebih luwes, lebih mudah belajarnya dengan teman sebaya.
c.
Akuntabilitas
individual
Pembelajaran kooperatif menampilkan
wujudnya dalam belajar kelompok. Penilaian ditunjukkan untuk mengetahui
penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian
ini selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua kelompok
mengetahui siapa kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan
bantuan,maksudnya yang dapat mengajarkan kepada temannya. Nilai kelompok
tersebut harus didasarkan pada rata-rata, karena itu anggota kelompok harus
memberikan kontribusi untuk kelompnya. Intinya yang dimaksud dengan
akuntabilitas individual adalah penilaian kelompok yang didasarkan pada
rata-rata penguasaan semua anggota secara individual.
d.
Keterampilan menjalin
hubungan antar pribadi
Keterampilan sosial dalam menjalin hubungan antar siswa harus diajarkan.
Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi akan memperoleh teguran
dari guru juga siswa lain.
Model
pembelajaran Make A Match (mencari pasangan) ini
dikembangkan oleh Lorna Curan (1994). Model pembelajaran ini dapat digunakan
untuk semua mata pelajaran termasuk IPA.
Model pembelajaran Make-A Match, merupakan bentuk model
pembelajaran dengan melalui permainan yang sesuai dengan tahap permainan dengan
formalisasi. Make A Match (Lorna
Curran 1994) adalah salah satu permainan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1)
Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa
konsep atau topik yang
cocok sesuai
review, satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban.
2)
Setiap peserta didik mendapat satu kartu.
3)
Tiap peserta didik memikirkan jawaban /soal dari kartu
yang dipegang.
4)
Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai
kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban)
5)
Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya
sebelum batas waktu diberi point.
6)
Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap
peserta didik mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.
7)
Demikian untuk permainan selanjutnya seperti tersebut
di atas.
·
Keunggulan model pembelajaran Make A Match adalah :
1)
Suasana kegembiraan akan tumbuh dalam
proses pembelajaran.
2)
Membutuhkan ketelitian dalam menentukan
pasangan jawaban.
3)
Kerja sama antar sesama siswa terwujud
dengan dinamis.
4)
Munculnya dinamika gotong royong yang
merata diseluruh siswa.
·
Kelemahan model pembelajaran Make A Match adalah :
1)
Jika tidak direncanakan dengan baik maka akan banyak waktu terbuang
2)
Pada awal-awal penerapan metode ini, banyak siswa yang malu
bisa berpasangan dengan lawan jenisnya
3)
Menggunakan metode ini terus menerus akan menimbulkan
kebosanan
Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa metode mengajar adalah cara yang
paling tepat, bagaimana guru mengajar suatu materi pelajaran secara terarah,
efisien dan sistematis untuk mencapai tujuan belajar. Dengan kondisi yang ada di SDN
Girimulyo magelang yang belum menggunakan model pembelajaran yang sesuai maka
model tersebut cocok untuk
memperbaiki kualitas pembelajaran agar dapat meningkatkan keaktifan dan
partisipasi siswa dalam proses pembelajaran sehingga hasil belajar IPA juga
meningkat.
H.
Implementasi Model Make A Match pada
Pembelajaran IPA
Pembelajaran
Kooperaitf adalah pendekatan
pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja
sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Artzt dan Newman ( 1990:448 ) dalam Trianto ( 2009:56
) menyatakan bahwa dalam belajar kooperatif siswa belajar bersama sebagai suatu
tim untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
Dengan demikian maka model kooperatif digunakan oleh penulis sebgai model dalam
pelajaran IPA materi alat peredaran darah pada manusia agar dapat meningkatkan
aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran dengan bekerja sama dengan teman
satu kelas.
Berdasarkan
hal tersebut maka metode pembelajaran yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Make A Mactch. Medel tersebut lebih efektif dibandingkan dengan metode
ceramah. Model tersebut, merupakan
bentuk model pembelajaran melalui permainan yang sesuai dengan tahap permainan
dengan formalisasi. Menurut
(Lorna
Curran 1994) Make A Match adalah
salah satu permainan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Guru
menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik yang cocok sesuai review, satu bagian kartu
soal dan bagian lainnya kartu jawaban.
2.
Setiap peserta didik mendapat satu kartu.
3.
Tiap peserta didik memikirkan jawaban /soal dari kartu
yang dipegang.
4.
Setiap peserta didik mencari pasangan yang mempunyai
kartu yang cocok dengan kartunya (soal jawaban)
5.
Setiap peserta didik yang dapat mencocokkan kartunya
sebelum batas waktu diberi point.
6.
Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap
peserta didik mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya.
7.
Demikian untuk permainan selanjutnya seperti tersebut
di atas.
Model
kooperatif tipe Make A Match ini
dapat digunakan pada siswa kelas V SDN Pakintelan 02 pada pembelajaran IPA
dengan materi alat peredaran darah pada manusia. Sebab dalam
pembelajaran belum digunakan model pembelajaran yang menarik, guru hanya
menggunakan model pembelajaran konvensional saja sehingga tidak ada daya tarik
bagi siswa untuk berkonsentrasi pada pelajaran. Kebiasan guru bertindak sebagai
pemberi informasi mengembangkan budaya belajar yang menerima dengan
pengembangan berpikir pada tingkat hafalan. Peserta didik masih kuat
kedudukannya sebagai murid yang memusatkan perhatiannya pada bahan yang
disajikan guru. Materi yang disampaikan oleh guru belum mengacu pada
pembelajaran yang inovatif, selain itu guru kurang komunikatif ketika dalam
mengajar untuk meningkatkan keaktifan siswa, lingkungan belajar kurang kondusif
dan kurang tertata rapi, serta kurang pemberian motivasi pada anak. Motivasi
bisa diberikan melalui hal-hal kecil misalnya saja pemberian reward
atau punishman dari guru yang
mengajar. Hal tersebut mengakibatkan respon siswa masih rendah, tidak aktif,
kreatif, dan berpikir kritis, dengan kata lain motivasi belajar siswa dalam
pembelajaran IPA rendah.
Berdasarkan uraian tersebut maka
model kooperatif tipe Make A Match
tepat untuk digunakan sebagai alternatif model pembelajarn IPA. Dalam model
tersebut siswa akan belajar bekerja sama secara kelompok dan merupakan suatu model
pembelajaran melalui permainan untuk mencari pasangan
kartu, sehingga suasana didalam kelas akan sedikit riuh tetapi, model tersebut
akan sangat menyenangkan. Di dalam kelas
akan tercipta suasana pembelajaran yang efektif sehingga siswa dapat berperan
aktif dalam proses pembelajaran karena siswa tidak lagi memusatkan perhatiannya
pada bahan yang disajikan guru tetapi, mereka dapat bekerja secara kooperatif.
Dalam sintak model Make A Match diatas dijelaskan bahwa, setiap peserta didik yang dapat
mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi point. Dalam
hal ini reward sangat penting diberikan agar memotivasi siswa sehingga
mereka terpacu untuk menjadi yang terbaik. Maka, model tersebut sangat tepat
digunakan karena dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran IPA materi alat
peredaran darah manusia.
2. Kajian Empiris
1. Pengaruh
model Make A Match pada pembelajaran
IPA kelas V SDN Pandanwangi 04 Malang oleh Dwi Retnowati.
Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) penerapan model Make A Match, (2) aktivitas belajar siswa ketika diterapkan model Make A Match, (3) hasil belajar siswa
setelah diterapkan model Make A Match.
2.
Agus S, S.Pd. (2010), dalam
penelitiannya yang berjudul “Keefektifan Model Make A Match Terhadap Materi Pelajaran IPA Siswa Kelas V SDN
Banyusari Sleman” mengungkapkan bahwa :
1. Keefektifan
model Make A Match mampu meningkatkan
aktivitas siswa dalam memahami materi pelajaran IPA dibandingkan dengan metode
ceramah.
2.
Antusiasme siswa dalam mengikuti
proses pembelajaran IPA mengalami peningkatan dengan diterapkannya model Make A Match pada proses pembelajaran.
Jadi,
dapat kita simpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Make A Match
telah banyak memberikan perbaikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran
dibandingkan metode ceramah sehingga model ini patut kita terapkan dan gunakan
dalam pembelajaran. Dan kita harus dapat menentukan hal-hal apa saja yang harus
diperhatikan dalam penerapan model Make A Match
ini, agar
tujuan dari pembelajaran dapat tercapai dengan baik.
3.
Kerangka Berpikir
3.
Hipotesis
Ha : Rata-rata hasil
belajar IPA dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif Tipe Make A Match lebih baik dari rata-rata
hasil belajar siswa dengan menggunakan metode ceramah
Ho : Tidak ada
perbedaan rata-rata hasil belajar IPA
dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
Tipe
Make A Match dari rata-rata hasil
belajar siswa dengan menggunakan metode ceramah.
E. METODE PENELITIAN
1.
Rancangan
Penelitian
Berdasarkan
tujuan penelitian ini, untuk mencari Keefektifan Model Kooperatif Tipe Make A Match dalam Pembelajaran IPA
Materi Alat Peredaran Darah Manusia Kelas V SD N Pakintelan 02 Semarang, maka
jenis penelitian ini digolongkan penelitian eksperimen. Pendekatan eksperimen
adalah penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan apa-apa yang akan terjadi
bila variabel-variabel tertentu atau dimanipulasi secara tertentu.
2.
Desain
Penelitian Eksperimen
Desain penelitian yang digunakan adalah pretest-postest control group design.
|
|
|
3.
Uji
Coba Instrumen
Rencana
uji coba pengembangan perangkat dan instrumen menggunakan uji awal dan uji
akhir (one group pretest- posttest
desain).
Dalam pelaksanaan ujicoba ini pertemuan pertama peneliti
memberikan contoh mengajar dengan pembelajaran Make A Match. Untuk
pertemuan berikutnya guru mitra dilibatkan sebagai guru yang mensosialisasikan
perangkat pembelajaran dan tes hasil belajar (Draf II) dan menyertakan dua
orang pengamat. Dari uji coba draf II dilakukan revisi akhir untuk memperoleh
draf final. Selanjutnya draf final
digunakan untuk eksperimen
a. Daya
Pembeda Butir Soal
Daya pembeda butir soal adalah kemampuan suatu butir
soal untuk membedakan siswa yang pandai (menguasai materi yang ditanyakan)
dengan siswa yang kurang pandai (belum atau tidak menguasai materi yang
ditanyakan). Tahap-tahap perhitungan daya pembeda butir soal adalah:
1. Para
siswa didaftarkan dalam peringkat pada sebuah tabel
2. Memisahkan
27%-33% nilai siswa dari kelompok atas dan kelompok bawah (Depdiknas, 2003).
3. Menghitung
daya pembeda butir soal dengan rumus
DP
= (Depdiknas,
2003)
Keterangan:
DP
= daya pembeda butir soal
=nilai rataan kelompok atas
=nilai rataan kelompok bawah
XM =
nilai maksimal setiap butir soal
b.
Tingkat
Kesukaran Butir Soal
Untuk
mengidentifikasi soal-soal mana yang baik dan mana yang kurang baik atau jelek,
dilakukan analisis butir soal, sehingga dapat diketahui tingkat kesukaran dan
daya pembeda dari masing-masing soal. Dalam menganalisis tingkat kesukaran soal
kita menggunakan asumsi validitas dan reliabilitas, dan juga ada kemungkinan
keseimbangan dari tingkat kesulitan tersebut (Panjaitan, 2008). Keseimabang
ayang dimaksud adalah adanya soal-soal yang dikategorikan soal mudah, sedang,
dan sukar secara profesional (Panjaitan, 2008). Selanjutnya, tingkat kesukaran
dapat dipandang sebagai kesanggupan siswa menjawab soal, tidak dapat dilihat
dari segi kemampuan guru mendisain soal tersebut. Penentuan indeks kesukaran
ditentukan oleh rumus sebagai berikut:
Dengan:
DI = Indeks kesukaran butir soal
HG = Jumlah skor siswa kelompok
atas
LG = Jumlah skor siswa kelompok
Bawah
N = Jumlah pesert a kelompok
atas dan kelompok bawah
Kriteria interpretasi tingkat kesukaran (Suherman, 1990)
DI ≤ 27% , soal
sukar
27%
< DI ≤ 73% , soal sedang
DI
> 73% , soal mudah
c. Reliabilitas butir soal
Reliabilitas
instrumen tes dihitung untuk mengetahui ketetapan hasil tes. Untuk menghitung
reliabilitas perangkat tes ini digunakan rumus yang sesuai dengan bentuk tes
uraian (essay), yaitu rumus alpha sebagai berikut:
r11 =
dengan :
r11: koefisien
reliabilitas perangkat tes
n: banyaknya item tes
: jumlah varians skor setiap item tes
: varians
total (Arikunto, 1999)
Varians
total: =
Varians
masing-masing butir soal: =
Keterangan:
N = Banyaknya
sampel
=
Jumlah total butir skor
Menentukan
thitung dengan mensubsitusikan r11 ke rumus:
thitung
= (Sudjana,
1992:380)
Menentukan signifikansi koefisien
reliabilitas tes. Kriteria yang harus dipenuhi agar koefisien reliabilitas tes
termasuk signifikan adalah jika thitung > ttabel
dengan ttabel = t(1-α)(dk) untuk α adalah taraf
signifikansi dan dk = N-2
d. Validitas Butir Soal
Validitas
butir soal dihitung untuk mengetahui seberapa jauh hubungan antara jawaban skor
butir soal dengan skor total yang telah ditetapkan. Secara umum, suatu butir
soal dikatakan valid apabila memiliki dukungan yang besar terhadap skor total.
Skor pada suatu item menyebabkan skor total menjadi tinggi atau rendah. Dengan
kata lain sebuah item tes memiliki validitas tinggi jika skor pada item itu
mempunyai kesejajaran dengan skor total (Arikunto, 1999). Kesejajaran ini dapat
diartikan dengan korelasi, sehingga untuk mengetahui validitas item ini
digunakan rumus korelasi product moment
sebagai berikut:
rxy =
dengan :
x =
skor butir soal
y = skor total
rxy = koefisien
korelasi antara skor butir dengan skor total
N = banyaknya siswa yang
mengikuti tes (Arikunto, 1999).
4.
Populasi
dan Sampel Penelitian
a.
Populasi
Populasi penelitian adalah semua siswa kelas V SDN Pakintelan
2 tahun pelajaran 2012-2013 yang terbagi menjadi 3
kelas dengan karakteristik sama, yaitu kelas Va, Vb, dan Vc dengan jumlah siswa
tiap kelas adalah 25 siswa. Jadi semuanya ada 25 x 3 = 75 siswa
b.
Sampel
penelitian
Pada penelitian ini populasi terbagi menjadi dalam 3 kelas. Kemudian 3
kelas tersebut diambil 2 kelas secara acak dengan cara undian sehingga
diperoleh jumlah sampel sebanyak 50 siswa. Satu kelas sebagai kelompok control
dan satu kelas sebagai kelompok eksperimen yang ditentukan melalui pengundian.
c.
Teknik sampling
Teknik
sampling yang digunakan adalah simple
random sampling
5. Setting Penelitian
a.
Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan
di SDN Pakintelan 02 Kecamatan Gunugpati, Kota Semarang.
b.
Waktu
Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada semester I dalam materi
alat peredaran darah pada manusia tahun pelajaran 2012/2013. Penelitian
berlangsung pada tanggal 28 Agustus tahun 2012 minggu ke-5, yang mencakup tiga
tahapan kegiatan secara garis besar, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan
dan tahap penulisan laporan.
c.
Subjek
Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah guru dan siswa
kelas V SDN Pakintelan 02 Semarang. Di mana siswa kelas V tersebut dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang diberi perlakukan dan kelompok yang
tidak diberi perlakuan.
d.
Variabel Penelitian
1.
Aktivitas siswa
Sebelum menggunakan model kooperatif tipe Make A Match siswa kurang
terlibat aktif dalam mengikuti pembelajaran,
belum ada aktivitas kerja sama antar siswa atau kelompok dan pembelajaran
kurang menyenangkan.
2.
Guru
Sebelum menggunakan model kooperatif tipe Make A Match pembelajaran
yang terjadi cenderung bersifat monoton, satu arah, kurang komunikatif, menggunakan metode ceramah atau
bercerita serta belum memberikan reward dan punishmen pada siswa pada mata
pelajaran IPA.
3.
Hasil Belajar
Sebelum
pelaksanaan penelitian dengan menggunakan model
kooperatif tipe Make A Match, rata-rata hasil
belajar IPA semester I kelas V SDN
Pakintelan 02 pada kelompok yang tidak diberi perlakuan mencapai Kriteria ketuntasan Minimal ( KKM ) yaitu < 65. Kondisi
tersebut menjadikan indikator pada penelitian ini bahwa kemampuan belajar IPA
siswa kelas V SD Negeri Pakintelan
02 adalah rendah.
Berdasarkan
kajian awal tersebut, maka perlu suatu pendekatan pembelajaran yang mampu
meningkatkan situasi kelas yang menyenangkan, siswa terlibat aktif dalam
belajar, meningkatkan kerja sama antar siswa, terjadinya komunikasi dua arah,
serta memotivasi siswa dengan memberikan reward. Pembelajaran yang dimaksud
adalah pembelajaran dengan model Kooperatif tipe make a Match pada kelompok
yang mendapat perlakuan.
6.
Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan
data adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpukan data
penelitiannya. Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas dalam
mengumpukan data. Instrumen penelitian membantu pekerjaan peneliti menjadi
lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan
sistematis sehingga lebih mudah diolah. Pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan 4 jenis metode yaitu tes, wawancara, observasi dan dokumentasi.
a. Interview/wawancara
Wawancara
digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan
studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga
apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal drai responden yang lebih mendalam
dan jumlah respondennya sedikit/kecil.
b. Dokumentasi
Metode
dokumentasi merupakan suatu cara memperoleh data mengenai hal-hal tertentu
terutama peninggalan tertulis, arsip-arsip dan sebagaimana yang berkaitan
dengan subyek yang diteliti. Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang
gambaran umum secara terperinci dan metode dokumentasi ini digunakan untuk
mencari data yang berkaitan dengan siswa yang menjadi subyek dalam penelitian
dini, apabila ada kekeliruan dengan data yang sudah diperoleh.
c. Tes
Teknik tes
dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data tentang hasil belajar IPA,
setelah dilaksanakan tindakan. Instrumen tes disusun dan diujicobakan pada
siswa di luar objek penelitian, dan dianalisis untuk mengetahui validitas,
derajat kesukaran, daya beda, dan reliabilitas, sehingga instrumen soal yang
digunakan untuk evaluasi di akhir siklus adalah hanya butir soal yang baik.
Soal tes
diujicobakan di luar sampel penelitian dengan maksud untuk tetap menjaga agar
hasil ujicoba benar-benar valid, sehingga ketika digunakan pada saat tes
setelah pelaksanaan tindakan dihasilkan data yang benar-benar sesuai dengan
pelaksanaan pembelajaran, karena apabila uji coba dilaksanakan pada subjek penelitian,
dikhawatirkan mempengaruhi hasil penelitian.
6.
Tahap
Pelaksanaan Eksperimen
a.
Prosedur
Pelaksanaan Penelitian
Berdasarkan rancangan
penelitian di atas, penelitian ini mencakup tiga tahapan. Ketiga tahapan ini
mencakup tahap persiapan, tahap pelaksanaan, eksperimen tahap analisa dan
penulisan laporan, sebagai berikut:
b.
Tahap Persiapan
Tahap
persiapan yang dimaksud adalah kegiatan yang dilakukan untuk menyusun perangkat
pembelajaran dan instrumen penelitian, variabel serta revisi para ahli terhadap
perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian. Termasuk survey ke SDN Pakintelan 02 sekaligus
melakukan kolaborasi antara peneliti yang melakukan eksperimen dengan pengamat
agar memiliki persmaan pandangan dalam melakukan pengamatan terhadap proses
pembelajaran.
c.
Tahap
Pelaksanaan Eksperimen
Pada tahap ini dilakukan
tes awal, penyajian pembelajaran berbasis masalah pengumpulan data, dan tes
akhir. Tes awal bertujuan untuk mengetahui keadaan awal siswa tentang materi
fungsi dan fungsi kuadrat. Juga dilakukan pengamatan terhadap aktivitas siswa,
pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran dan pola jawaban siswa dalam
mengerjakan tes yang diberikan.
d. Tahap Analisis Data dan
Penulisan Laporan
Data yang diperoleh dari hasil
eksperimen kemudian dianalisis dengan membandingkan hasil antara kelompok
kontrol dengan kelompok eksperimen, menguji mana yang lebih baik serta menarik
kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian. Kemudian semua hasil penelitian
ditulis untuk membuat laporan.
7. Teknik Analisis Data
Berkaitan
dengan pertanyaan penelitian, aktivitas siswa dan guru, kemampuan guru
mengelola pembelajaran dan respon siswa dianalisis dengan analisis statistik
deskriptif. Data tentang hasil belajar dianalisis dengan statistik inferensial.
a. Analisis Statistik Deskriptif
Agung
(1992) menyatakan bahwa statistik deskriptif dapat berbentuk tabel frekuensi,
tabel silang, dan beberapa statistik dasar seperti rata-rata, median, modus, dan
varians. Analisis statistik deskriptif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk
menjawab pertanyaan penelitian dengan menggunakan tabel frekuensi, rata-rata,
varians, dan persentase. Data yang menggunakan analisis statistik deskriptif
adalah:
b. Data Aktivitas Siswa Dalam Pembelajaran
Data hasil pengamatan aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran
dianalisis dengan menggunakan persentase. Persentase pengamatan aktivitas
siswa yaitu frekuensi rata-rata setiap
aspek pengamatan dibagi dengan banyaknya frekuensi rata-rata semua aspek
pengamatan dikali 100% dengan batas toleransi 5%.
c. Data Pola Jawaban Siswa
Untuk melihat pola jawaban siswa dalam
menyelesaikan masalah-masalh yang diberikan.
d.
Menguji
Normalitas
Menguji normalitas data menggunakan
rumus khi-kuadrat (chi-square) dari Ruseffendi (1998:294)
Dengan
: = khi-kuadrat
fo = frekuensi dari yang diamati
fe =
frekuensi yang diharapkan
Langkah berikutnya adalah membandingkan 2hitung
dengan 2tabel
dengan
derajat kebebasan (dk) = J-3. Dalam hal ini J menyatakan banyaknya kelas
interval. Jika 2hitung
< 2tabel
, maka dapat
dikatakan bahwa data tersebut berdistribusi normal.
e.
Menguji
Homogenitas
Uji ini
digunakan untuk menentukan apakah sampel yang diperoleh berasal dari populasi
dengan varians yang sama. Tes yang digunakan untuk menghitung
homogenitas mengunakan
rumus dari Ruseffendi (1998:295)
Hipotesis yang akan di uji adalah:
H0 : s12 = s22
HA : s12 ≠ s22
F =
Dengan:
= variansi terbesar
= variansi terkecil
Kriteria pengujiannya adalah tolak H0
jika dan terima H0
untuk kondisi lainnya. Dengan dk pembilang = (n1-1) dan dk penyebut
= (n2-1) pada taraf
signifikansi α = 0,05
Selanjutnya
uji statistik sesuai dengan hipotesis yang
diajukan dilakukan berikut:
Peningkatan kemampuan pemahaman konsep IPA siswa yang diajar
dengan model pembelajaran Make A
Match lebih baik dari siswa yang diajar dengan Pembelajaran
Ceramah
Skor
diperoleh dari hasil tes siswa sebelum dan setelah belajar dengan pembelajaran Make A
Match
dianalisa dengan cara membandingkan dengan skor siswa yang diperoleh dari hasil
tes siswa sebelum dan setelah belajar dengan Pembelajaran Ceramah.
Besarnya peningkatan sebelum dan sesudah pembelajaran secara keseluruhan
dihitung dengan rumus gain ternormalisasi (normalized gain), yang
dikembangkan oleh Hake dalam Siregar (2009) sebagai berikut:
Selanjutnya
digunakan uji t untuk melihat apakah peningkatan kemampuan pemahaman konsep
siswa yang ada di kelompok eksperimen lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
ada di kelompok kontrol. Dimana
hipotesis yang akan diuji adalah:
H0
: μ1 = μ2 : Peningkatan kemampuan pemahaman konsep IPA siswa yang diajar dengan model pembelajaran Make
A Match tidak lebih baik
dari Pembelajaran Ceramah.
Ha
: μ1 > μ2 :
Peningkatan kemampuan pemahaman konsep matematika siswa yang diajar dengan model
pembelajaran Make A Match lebih baik dari Pembelajaran Ceramah.
-
Jika data yang diperoleh berdistribusi normal dan homogen maka digunakan
uji t dengan rumus:
(Sudjana, 2001)
Dengan:
= nilai rata-rata siswa kelompok eksperimen
=
nilai rata-rata siswa kelompok kontrol
n1 = banyaknya siswa kelompok
eksperimen
n2 = banyaknya siswa kelompok
kontrol
= varians kelompok eksperimen
=
varians kelompok kontrol
Sgab= simpangan gabungan
-
Jika data yang diperoleh berdistribusi normal tetapi tidak homogen maka
digunakan uji (Sudjana, 2001) dengan rumus:
Kriteria pengujiannya adalah tolak H0
jika dan terima H0
untuk kondisi lainnya dengan taraf signifikansi yang telah ditentukan
-
Jika data yang diperoleh tidak berdistribusi normal dan tidak homogen, maka
digunakan uji statistik non parametrik yaitu uji Mann-Whitney.
Kriteria pengujiannya adalah tolak H0
jika dan terima H0
untuk kondisi lainnya dengan taraf signifikansi yang telah ditentukan
-
Jika datanya tidak berdistribusi normal tetapi homogen maka uji yang
dilakukan adalah uji Wilcoxon (Russefendi, 1998).
Setelah
dilakukan sebuah pengumpulan data dengan 4 metode dapat peneliti analisis bahwa
keefektifan pada pembelajaran IPA Kelas V Semester 1 di SD Negeri Pakintelan 2
dengan materi Alat Peredaran Darah
dikarenakan penerapan model pembelajaran kooperatif salah satunya Make A Match. Kebiasan guru bertindak
sebagai pemberi informasi mengembangkan budaya belajar yang menerima dengan
pengembangan berpikir pada tingkat hafalan. Peserta didik masih kuat
kedudukannya sebagai murid yang memusatkan perhatiannya pada bahan yang
disajikan guru. Materi yang disampaikan oleh guru belum mengacu pada
pembelajaran yang inovatif, selain itu guru kurang komunikatif ketika dalam
mengajar untuk meningkatkan keaktifan siswa, lingkungan belajar kurang kondusif
dan kurang tertata rapi, serta kurang pemberian motivasi pada anak. Motivasi
bisa diberikan melalui hal-hal kecil misalnya saja pemberian reward
atau punishman dari guru yang
mengajar. Hal tersebut mengakibatkan respon siswa masih rendah, tidak aktif,
kreatif, dan berpikir kritis, dengan kata lain motivasi belajar siswa dalam
pembelajaran IPA rendah.
Berdasarkan
uraian tersebut maka model kooperatif tipe Make A Match tepat untuk digunakan
sebagai alternatif model pembelajarn IPA. Dalam model tersebut siswa akan belajar
bekerja sama secara kelompok dan merupakan suatu model pembelajaran melalui permainan
untuk
mencari pasangan kartu, sehingga suasana didalam kelas akan sedikit riuh
tetapi, model tersebut akan sangat menyenangkan. Di dalam kelas akan tercipta suasana
pembelajaran yang efektif sehingga siswa dapat berperan aktif dalam proses
pembelajaran karena siswa tidak lagi memusatkan perhatiannya pada bahan yang
disajikan guru tetapi, mereka dapat bekerja secara kooperatif. Dalam sintak
model Make A Match diatas dijelaskan bahwa, setiap peserta didik yang dapat
mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi point. Dalam
hal ini reward sangat penting diberikan agar memotivasi siswa sehingga
mereka terpacu untuk menjadi yang terbaik. Maka, model tersebut sangat tepat
digunakan karena dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran IPA materi alat
peredaran darah manusia.
F.
DAFTAR
PUSTAKA
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. Bandung : ALFABETA cv
Trianto.
2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Surabaya : Prestasi Pustaka
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=uji
coba instrumen penelitian
eksperimen&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCcQFjAA&url=http%3A%2F%2Fblog.
TUGAS
KELOMPOK
PROPOSAL PENELITIAN EKSPERIMEN
disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Penelitian Pendidikan SD 1
Dosen Pengampu: Ibu
Florentina Widhihastrini
Rombel 07
Oleh:
1. Fitria
Mustika Dewi 1401410077
/ 08
2. Tyas
Utami 1401410079
/ 09
3. Anisa
Larasati 1401410231
/ 22
4. Rizki
Mugi Lestari 1401410266
/ 26
5. Francisca
Putri Rahmawati 1401410384 /
36
6. Desy
Riana Palupi 1401410408
/ 40
PENDIDIKAN
GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2012
izin save teh :)
BalasHapus